BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembaruan dalam Islam yang
timbul pada periode sejarah Islam mempunyai tujuan, yakni membawa umat Islam
pada kemajuan, baik dalam ilmu pengetahuan maupun kebudayaan. Perkembangan
Islam dalam sejarahnya mengalami kemajuan dan juga kemunduran. Bab ini akan
menguraikan perkembangan Islam pada masa pembaruan. Pada masa itu, Islam mampu
menjadi pemimpin peradaban. Mungkinkah Islam mampu kembali menjadi pemimpin
peradaban?
Dalam
bahasa Indonesia, untuk merujuk suatu kemajuan selalu dipakai kata modern,
modernisasi, atau modernisme. Masyarakat barat menggunakan istilah modernisme
tersebut untuk sesuatu yang mengandung arti pikiran, aliran atau paradigma
baru. Istilah ini disesuaikan untuk suasana baru yang ditimbulkan oleh
kemajuan, baik oleh ilmu pengetahuan maupun tekhnologi.
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari
penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas mata pelajaran bahasa Agama. Selain itu juga untuk memberikan pemahaman bagi pembaca mengenai sejarah
perkembangan agama Islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
Sejarah
telah menunjukkan bahawa masyarakat Indonesia pra-Islam, di sekitar abad
ketujuh dan sebelumnya, adalah masyarakat dagang dengan ciri kosmopolitan yang
sangat kental.
Bahkan
Burger menyatakan bahawa, jauh sebelum masa pra-sejarah, masyarakat Indonesia
telah berkenalan dengan bangsa-bangsa lain di luar kepulauan.
Perkembangan
yang menarik buat masyarakat Indonesia adalah bahawa lambat laun ciri
agrarisnya lebih menonjol dibandingkan dengan ciri baharinya. Dampak penonjolan
ini sangat besar pengaruhnya terhadap bentuk kerajaan, sistem kekuasaan, dan
corak keagamaan masyarakatnya.
Dengan
demikian dapat pula berpengaruh terhadap struktur sosial yang berkembang pada
masa itu.
Bagi
Indonesia, dampak kedatangan para pedagang sangat berpengaruh terhadap
penyebaran agama Islam di nusantara. Apalagi bila diingat bahawa, sejak
dimulainya proses penyebaran Islam di Indonesia, belum terdapat suatu
organisasi dakwah yang mapan untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas.
Proses
tersebarnya Islam pada waktu itu, semata-mata mengandalkan kemampuan dan
ketekunan tenaga-tenaga da'i pedagang atau guru sufi. Kerana itu, sangat
beralasan bila dikatakan proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan waktu
yang relative lama bahkan berabad-abad.
Latarbelakang
sejarah berkembangnya kelompok pedagang Muslim di kepulauan Indonesia merupakan
indikasi bahawa Islam disebarluaskan kepada masyarakat oleh kaum pedagang.
Mereka tidak semata-mata berperanan sebagai pedagang, namun sekaligus bertindak
sebagai da'i guru agama (Islam), orang sufi yang memberikan bimbingan keagamaan
dan kehidupan sehari-hari kepada masyarakat setempat
Karena itu,
terdapat kesan kuat bahawa Islam di Indonesia, pada awalnya, berpusat di kota
yang juga merupakan pusat kegiatan dagang dan komersial. Pemeluk- pemeluk
pertamanya adalah golongan pedagang –suatu masyarakat yang ketika itu,
menempati posisi kelas sosial yang cukup baik.
Dalam
penyebarannya kemudian, Islam dipeluk oleh masyarakat kota, baik dari lapisan
atas mahupun lapisan bawah.
Keberhasilan
Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia, serta
menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini, merupakan suatu prestasi
yang luar biasa. Hal itu, terutama, jika dilihat dari segi geografis, di mana
jarak Indonesia dengan Negara asal Islam, Jazirah Arab, cukup jauh. Kini, Islam
relatif telah berkembang di seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi hal itu tidak
bererti bahawa masyarakat Indonesia sepenuhnya menerima Islam.
Sebagaimana
di dunia Islam pada umumnya, proses Islamisasi tetap berlanjutan dan, pada
kenyataannya hal itu merupakan suatu proses yang tidak pernah selesai.
Makalah ini
akan mengelaborasi berbagai masalah sekitar perkembangan Islam di Indonesia,
terutama yang berkait dengan aspek-aspek politik, hukum dan ekonomi. Di samping
itu, juga akan dibahas upaya-upaya atau peranan Majelis Ulama Indonesia dalam
perkembangan Islam di Indonesia.
ASPEK-ASPEK PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONESIA
Islam adalah
sebuah ajaran yang fleksibel dalam pengertian bahawa ia merupakan kodifikasi
nilai-nilai universal. Dengan ciri demikian itu, ajaran Islam dapat berhadapan
dengan berbagai bentuk dan jenis situasi kemasyarakatan. Kerana watak ajaran
seperti itu, maka Islam tidak secara serentak menggantikan seluruh tatanan
nilai yang telah berkembang di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebelum
datangnya Islam. Bahkan, hingga taraf-taraf tertentu, nilai-nilai
kemasyarakatan yang telah ada, seperti rendah hati, sabar, mementingkan orang
lain dan sebagainya, disubordinasikan ke dalam ajaran Islam. Sebab ajaran-ajaran
seperti itu, juga dikandung oleh Islam.
Oleh kerana
itu, dalam sub judul ini, akan dibahas tentang berbagai aspek perkembangan
Islam di Indonesia, terutama dalam kaitan dengan aspek politik, hukum dan
ekonomi.
A. ASPEK POLITIK.
Di antara
ciri-ciri Islam yang dapat menduduki rankingpar -excellence (istimewa) ialah
kerana
sifatnya yang universal, setiap aspek kehidupan tidak terlepas dar
peraturannya
tidak terkecuali aspek politik. Kerananya tidak heran bila dalam nas- nasnya
senantiasa kita dapatkan berbagai hukum yang berhubungan dengan urusan
kenegaraan berikut sistem pemerintahannya, hukum perang dan damai serta
hubungan international antara negara Islam dengan negara lainnya.
Membahas
pembangunan politik di Indonesia dalam perspektif Islam akan melahirkan dua
pemikiran penting, iaitu pemikiran tentang hubungan antara politik dan Islam
dan perlakuan oleh berbagai kekuatan politik terhadap Islam terutama dalam
sejarah perkembangan politik di Indonesia. Sejak zaman kolonial sampai era
kemerdekaan, tindakan dan kebijakan berbagai kekuatan politik terhadap Islam di
Indonesia, tampak dalam peranan yang dimainkan oleh para pemimpin yang
berorientasi kepada Islam. Peranan tersebut adalah implikasi dari situasi yang
mereka hadapi dan dalam hubungan dialogis politik Islam dengan budaya politik
Indonesia yang selalu berubah.
Dalam wacana
tentang orientasi, gerakan atau institusionalisasi Islam di Indonesia sering
digunakan istilah-istilah: "Islam Kultural", "Islam
Struktural", dan "Islam Politik". Istilah "Islam
Kultural" dan "Islam Struktural", tidak lazim digunakan dalam
wacana Islam di luar Indonesia, meskipun istilah-istilah ini sebenarnya cukup
tepat untuk menjelaskan fenomena perkembangan Islam yang terjadi di Indonesia
dengan di luar, yakni adanya orientasi pada hampir semua gerakan Islam di luar
Indonesia pada Islam struktural dan ideologis, meski tidak semuanya mendukung
atau terlibat dalam Islam politik. Namun, penggunaan istilah-istilah ini sering
kurang pasti, terutama tentang "Islam structural" dan "Islam
politik" yang sering dianggap identik.
Untuk
menelusuri lebih jauhter m- ter m tersebut, paling tidak kita perlu membedakan
karakteristik Islam ke dalam dua perspektif.Pertama, adalah institusionalisasi
ajaran Islam, termasuk dalam konteks pembentukan sistem nasional, yang
dikelompokkan ke dalam Islamc ul tur al dan Islams truc tural;Ked ua, gerakan
atau aktifitas Islam, yang dikelompokkan dalam gerakan Islam kultural dan Islam
politik. Namun demikian, terlepas dari kedua dikotomi istilah di atas, penulis
akan berkonsentrasi sekitar perkembangan politik Islam di Indonesia, baik pada
masa kolonial mahupun pada masa kemerdekaan.
- Politik dan Islam di Masa Kolonial
Islam di
Indonesia adalah bahagian yang tidak terpisahkan dari budaya Indonesia,
sehingga Islam merupakan agama yang paling banyak dianut oleh mayoritas
penduduk Indonesia. Signifikansi hubungan yang begitu erat antara Islam dan
Indonesia sebagai suatu daerah territorial, menyebabkan penjajahan lebih dari
tiga abad oleh Belanda dan Jepun gagal dalam upaya deislamisasi agar akidah
Islam tercabut dari umat Islam.9 Sebab melalui hubungan itu juga menjelaskan
terinternalisasinya nilai-nilai Islam baik dalam bentuk akidah, pesan-pesan
moral dan sosial dalam diri pemeluknya guna membendung kolonialisme.
Agaknya,
uraian di atas ada benarnya, sebab mengakarnya Islam di Indonesia tidak
terlepas dari sebuah proses panjang program sosialisasi Islam yang dilakukan
oleh para pemuka Islam melalui aktifitas dakwah dan pendidikan. Dalam proses
tersebut, Islam di Indonesia telah berhadapan dengan berbagai tentangan
ideologi, budaya, dan kekuatan sosial politik penguasa, sehingga memaksa Islam
harus tampil dalam berbagai bentuk gerakan, seperti, gerakan Islam melawan
kolonialisme, sebagai Islam politik, dan Islam sebagai kekuatan moral, kultural
dan intelektual.
Bentuk-bentuk
gerakan tersebut di atas sebagai akibat dari upaya umat Islam untuk menjadikan
Islam sebagai agama yang dinamis melalui pola-pola sosialisasi seperti pola
akomodasi, modifikasi dan sosialisasi, sehingga Islam tersosialisasi dalam
berbagai bentuk kehidupan masyarakat Indonesia.
Menurut
Fachry Ali, dinamika Islam yang tampil dalam berbagai bentuk gerakan, sangat
dipengaruhi oleh dominasi Barat, baik yang bersifat "positif" seperti
dalam bentuk intelektualisme, sains dan teknologi, mahupun dalam
hal-hal"negati ve" seperti kolonialisme. Namun demikian, untuk
menghadapi dominasi itu, Islam sangat kaya dengan doctrinal dan pengalaman
politik yang dapat ditranformasi dan direkonstruksi menjadi ideologi politik
tanpa meminjam ideologi lain.
Berbeda
dengan Fachry Ali, Yusril Ihza Mahendra mengklaim bahawa gerakan Islam
dipengaruhi oleh faktor rekayasa-rekayasa politik penguasa dan faktor-faktor
persaingan antara kelompok bangsa sendiri.
Mengamati
berbagai uraian di atas, dapat ditegaskan bahawa faktor-faktor tersebut menjadi
faktor-faktor dominan dalam dinamika gerakan Islam di Indonesia baik pada masa
kolonial dan terus berlanjutan hingga saat sekarang ini.
Gerakan-gerakan
yang dilakukan kekuatan Islam agaknya mendapat banyak tentangan dari pihak
kolonial. Sebab pemerintah kolonial Belanda dalam melestarikan penjajahannya di
Indonesia menerapkan berbagai tindakan guna melumpuhkan kekuatan Islam.
Penjajah Belanda seringkali melakukan tindakan tidak manusiawi, melanggar hak
asasi manusia, invasi, eksploitasi sumber-sumber ekonomi dan sumber daya
manusia yang hanya menguntungkan pihaknya. Mereka juga melakukan upaya
de-Islamisasi dan depolitisasi terhadap umat Islam.
Namun
demikian, berbagai bentuk penindasan dan kebijakan Belanda tidak menjadikan
umat Islam Indonesia lumpuh, bahkan mereka menjadikan Islam sebagai dasar
pembentukan identitas bangsa dan lambang perlawanan terhadap imperialisme.
Mereka bersatu dalam perjuangan Islam melawan kolonial Belanda. Bagi mereka,
Islam tidak sekadar agama secara formal tetapi juga sebagai way of
life.
Menganalisis
berbagai uraian di atas, dapat difahami bahawa, selama penjajahan kolonial
Belanda, Islam secara utuh mampu tampil dalam bentuk gerakan melawan kolonialisme
Belanda dan sebagai Islam politik dalam wujud partai politik seperti Sarikat
Islam dan Partai Islam Indonesia waktu itu dapat memberikan pendidikan politik
kepada rakyat dan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Di sisi lain Politik
Islam Hindia
Belanda yang berusaha melaksanakan deislamisasi untuk menjauhkan
umat Islam
dari kegiatan politik (depolitisasi) telah mengalami kegagalan.
- Politik dan Islam di Era Kemerdekaan
Seperti
halnya di era kolonial, pembangunan politik di Indonesia pada masa kemerdekaan
baik pada masa kepemimpinan orde lama mahupun orde baru, tidak dapat dilepaskan
dari eksistensi Islam dan umatnya. Jika masa kolonial Islam berhadapan dengan
ideologi kolonialisme, maka di masa kemerdekaan Islam berhadapan dengan
ideologi tertentu, seperti komunisme dengan segala perangkatnya.
Sejarah
politik bangsa Indonesia menegaskan bahawa Islam melalui para pemimpinnya
mempunyai andil besar mulai dari menanamkan nilai-nilai nasionalisme sampai
perumusan Undang-Undang Dasar Negara. Ketika menyusun Undang- Undang Dasar
NKRI, para tokoh Islam berhasil memasukkan rumusan kalimat: "dengan
kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya," dalam Piagam
Jakarta.
Rumusan
tersebut tampaknya merupakan perwujudan dari aspirasi yang muncul sebelumnya,
bahawa kemerdekaan merupakan peluang bagi umat Islam melaksanakan ajarannya
dalam kehidupan bernegara sebagaimana dicetuskan tokoh-tokoh Sarikat Islam (SI)
di akhir tahun 1920.
Ketika
sidang-sidang konstituante membahas tentang dasar Negara, para pemimpin Islam
kembali menyuarakan aspirasinya agar Islam dijadikan sebagai dasar Negara.
Namun demikian usaha ini mendapat banyak tentangan dari berbagai pihak. Bahkan
kondisi ini menyebabkan Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Julai 1959
untuk memberlakukan kembali UUD 1945 sekaligus membubarkan konstituante.
Di masa
pemerintahan Orde Baru, umat Islam belum juga berhasil menetapkan Islam sebagai
dasar Negara. Sebaliknya, pemerintah Orde Baru menetapkan Pancasila sebagai
ideologi Negara dan satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kerana itu, ideologi politik lainnya, termasuk Islam tidak diberi hak untuk
hidup dan berkembang. Akibatnya, umat Islam dan juga umat lainnya tidak
dibenarkan menampilkan Islam dalam bentuk Islam politik seperti terwujud dalam
bentuk partai politik.
Namun
demikian, umat Islam lainnya, tetap mendukung kebijakan Orde Baru itu. Sehingga
Islam terbahagi menjadi dua kelompok yang sangat berbeda, iaitu kelompok
pendukung Orde Baru dan kelompok penentang. Kelompok yang disebut terakhir,
dinamakan dengan kaums kri ptur al is yang hidup dalam suasanadepol i ti sasi
dan konflik dengan pemerintah. Sedang kelompok pertama disebut kaum
substansialis
yang mendapat manfaat dan fasilitas dari pemerintah.
Sebagaimana
dikemukakan di atas bahawa pemerintah Orde baru dalam hal politik Islam
mengadakan depolitisasi yang didukung kaum substansialis. Dukungan yang paling
nyata dari kalangan substansialis ialah slogan "Islamic Religioun:
Yes", Islamic (Political) Ideologi: No". Ini bererti bahawa bagi kaum
substansialis, pemerintah Orde Baru sangat responsive terhadap Islam selama
Islam yang dimaksud bukan Islam politik yang menghendaki Negara diatur
berdasarkan ajaran Islam.
Ringkasnya,
agenda politik Orde Baru mencakup depolitisasi Islam. Projek ini didasarkan
pada sebuah asumsi bahawa Islam yang kuat secara politik atau Islam politik
akan menghambat jalannya agenda-agenda politik rezim Orde Baru. Tidak hanya
itu, Islam politik juga dituduh akan menjadi hambatan bagi jalannya modenisasi.
Hal ini tampak dari kekecewaan di kalangan elit pemerintahan Orde Baru terhadap
kualitas dan kemampuan para pemimpin Islam tradisional.
Sejalan
dengan penolakan ideologi Islam atau partai politik Islam, pemerintah Orde Baru
melakukan fusi partai. Partai-partai non pemerintah dijadikan dua kelompok,
masing-masing kelompok Islam dan non Islam. Partai yang disebut pertama
difusikan sebagai Partai Persatuan pembangunan (PPP) dan partai disebut kedua
adalah Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Namun
demikian perkembangan selanjutnya, PPP semakin mengalami erosi dari kandungan
Islam, dan setidaknya telah menjadi partai terbuka bagi anggota-anggota yang
bukan muslim. Sebab semua partai politik dan organisasi sosial kemasyarakatan
harus menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas, sehingga pintu untuk
memberlakukan aturan yang bernafaskan Islam tertutup. Akibatnya, Nahdatul Ulama
(NU) sebagai komponen terbesar dalam PPP menyatakan keluar dan kembali menjadi
organisasi non politik.
Mengamati
uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahawa tampilnya kaum substansialis
sebagai pendukung pemerintahan Orde Baru, mengakibatkan umat Islam Islam
terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah golongan
skripturalis
yang selalu berseberangan pemikiran dengan pemerintah, sehingga
kelompok ini secara tidak langsung juga menjadi
oposan terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah. Sedang kelompok kedua adalah
golongans ubst ansi al i s yang pandangan-pandangannya menafasi kebijaksanaan
pemerintah yang bertalian dengan Islam. Kelompok ini sangat akomodatif terhadap
pemerintah, demikian pula sebaliknya, pemerintah sangat memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan mereka