Di manakah Tempat Wanita Beriktikaf?
Kaum wanita memiliki hak yang sama atau diperbolehkan untuk beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Hal itu telah dicontohkan oleh istri-istri Rasulullah SAW. Aisyah RA, istri Nabi mengatakan, bahwa Nabi SAW selalu beri’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkan beliau. Setelah itu para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau. (HR Bukhari).
Namun, menurut Al-Kubaisi, di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat tentang masjid yang menjadi tempat i’tikaf. ‘’Yang diperselisihkan, apakah masjid jami merupakan syarat mutlak bagi sahnya i’tikaf kaum wanita?’’ ujar Al-Kubaisi. Ada dua pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.
Menurut pendapat pertama, dari jumhur ulama yang mengatakan, tidak sah i’tikaf seorang wanita bila tak dilakukan di dalam masjid jami. Ketentuan ini, sama dengan yang ditetapkan pada kaum laki-laki. Pendapat ini didukung oleh Imam Malik, Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal.
Sayyid Sabiq dalam Fikih Sunnah, mengungkapkan, menurut mayoritas ulama tak sah bagi seorang perempuan yang ber i’tikaf di masjid (tempat shalat) yang berada di dalam rumah. ‘’Sebab tempat shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid,’’ ungkap ulama masyhur asal Mesir itu.
Selain itu, kata dia, para ulama juga sepakat bahwa tempat shalat yang berada dalam rumah boleh dijual, sedangkan masjid tak boleh dijual. Menurut Sayyid Sabiq, dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa para istri Rasulullah ber i’tikaf di dalam Masjid Nabawi.
Dalil yang menjadi landasan pendapat pertama, seperti dikemukakan oleh Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni. ‘’Bagi kami (dalil untuk memperkuat pendapat tersebut) adalah firman Allah; wa antum aakifuna fil masaajidi,’’ ujar Ibnu Qudamah. Dalam ayat ini, yang dimaksud dengan masjid adalah tempat mendirikan shalat. Sedangkan, tempat shalat di dalam rumah tak bisa disebut sebagai masjid.
Para istri Rasulullah juga meminta izin kepada beliau untuk ber i’tikaf di dalam masjid dan Nabi SAW mengizinkannya. Menurut Ibnu Qudamah, kalau masjid-masjid itu bukanlah tempat i’tikaf bagi wanita, pastilah Rasulullah SAW akan melarangnya. ‘’Atau paling tidak, bila ada tempat selain masjid yang paling baik bagi kaum wanita untuk ber i’tikaf, maka pastilah beliau menunjukkannya.’’
Menurut Ibnu Qudamah, dibolehkannya kaum wanita ber i’tikaf di dalam masjid, sebagaimana laki-laki, bisa disamakan dengan bolehnya melakukan thawaf di Baitullah, yang ketika itu antara keduanya diperlakukan sama.
Sedangkan, pendapat yang kedua justru memakruhkan wanita ber i’tikaf di dalam masjid jami. Hal itu didasarkan pada dua hadis. Hadis pertama dari Ibnu Umar yang diriwayatkan Abu Daud yang sanadnya sesui dengan persyaratan Bukhari. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Janganlah kalian larang kaum wanita untuk pergi ke masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.’’
Menurut Al-Kubaisi, hadis di atas menjelaskan tentang lebih baiknya bagi kaum wanita menjalankan shalat di (mushalla) rumah masing-masing. Tak ada bedanya melakukan shalat dengan i’tikaf. Sebab, kata dia, para fukaha telah sepakat membolehkan wanita ber i’tikaf. Sehingga, bolehlah kaum wanita ber i’tikaf di dalam rumahnya. Hal itu sesuai dengan ucapan Rasulullah SAW, ‘’Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.’’
Dalil kedua, hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad sesuai persyaratan Imam Muslim. Rasulullah SAW bersabda, ‘’Shalatnya seorang wanita di dalam rumahnya adalah lebih baik baginya ketimbang shalat di kamarnya, dan shalatnya pada ruangan tertentu dari bagian rumahnya adalah lebih baik baginya ketimbang shalat dalam rumahnya (yakni di ruang terbuka yang digunakan untuk lewat mondar-mandir).
Imam Malik berkata, ‘’Hadis itu dengan gamblang menjelaskan kepada kita bahwa pada prinsipnya, Rasulullah SAW menyatakan shalatnya kaum wanita pada bagian tertentu di dalam rumahnya (mushalla dalam rumahnya) adalah paling baik dibandingkan shalat di tempat lain.’’
Analoginya, kata Al-Kubaisi, jika shalat bagi kaum perempuan lebih utama dilakukan di dalam rumahnya, maka dalam i’tikaf juga berlaku demikian. Jadi, i’tikaf kaum wanita, menurut para ulama yang memegang pendapat kedua ini, lebih baik dilakukan di dalam mushala rumahnya sendiri.
Kelompok mazhab Abu Hanifah justru malah menyatakan makruh hukumnya kaum wanita ber i’tikaf di dalam masjid. Maulana Muhammad Al-Kandahlawi dalam Fadhail Ramadhan juga mendukung pendapat kedua. Menurut dia, hendaknya wanita ber i’tikaf di dalam mushalla di dalam rumahnya.
‘’Jika tak ada mushala di dalam rumah, hendaknya disediakan sebuah kamar atau sudut rumah yang khusus untuk i’tikaf,’’ ujar Al-Kandahlawi. Dengan begitu, kata dia, i’tikaf bagi kaum perempuan lebih mudah dibandingkan laki-laki, karena mereka cukup duduk di rumahnya. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan rumah dapat dikerjakan oleh anak-anaknya dan ia akan tetap memperoleh pahala i’tikaf. Sayangnya, menurut Al-Kandahlawi, banyak di antara mereka yang tak mengamalkannya. (rol)