Tidak Mau Mengalah Diantara Pasutri
Salah satu sumber konflik pasutri (pasangan suami isteri) adalah karakter personal. Disebabkan suami dan isteri memiliki karakter yang khas, maka mereka bisa mengalami konflik. Ada beberapa contoh konflik yang muncul karena karakter pribadi suami dan isteri, saat ini akan saya sampaikan satu diantaranya, yaitu “tidak mau mengalah”.
Ketika suami, isteri, atau kedua-duanya, memiliki sifat tidak mau mengalah, yang terjadi adalah upaya membela diri dan mempertahankan pendapat, keinginan, dan kepentingan masing-masing. Apalagi ketika sifat itu dimiliki keduanya; suami dan isteri sama-sama memiliki sifat tidak mau mengalah. Sudah terbayang betapa seru pertengkaran mereka, karena tidak ada yang bersedia mengalah. Semuanya ingin menang dan ingin dimenangkan.
Mengapa Tidak Mau Mengalah?
Sering saya sampaikan, bahwa kehidupan berumah tangga di tahun pertama, memerlukan sangat banyak penyesuaian. Suami dan isteri memasuki dunia baru yang belum pernah mereka masuki sebelumnya. Ada sejumlah keterkejutan atas sifat dan sikap pasangan kepada dirinya, kendatipun mereka sudah saling mengenal dan berinteraksi dalam waktu cukup lama sebelum menikah.
Di antara kecenderungan umum yang ada dalam kehidupan keluarga –terutama pada keluarga muda—adalah kecenderungan mempertahankan serta memenangkan ego masing-masing. Dalam suatu perbedaan pendapat atau perbedaan kepentingan, suami dan isteri tidak ada yang mau mengalah. Keduanya bersikeras membela pendapat dan kepentingannya, disertai keinginan agar pasangannya mengalah.
“Mengapa dia tidak mau mengalah?”
“Mengapa dia selalu ingin menang?”
“Mengapa dia tidak mau berkurban sedikit saja untuk mengalah”.
Ada sangat banyak pertanyaan dalam hati yang disimpan masing-masing oleh suami dan isteri, sembari memberikan penilaian kepada pasangannya. Seakan-akan hanya pasangannya yang tidak mau mengalah. Seakan-akan hanya pasangannya yang selalu ingin menang. Padahal sesungguhnya dirinyapun berada dalam kondisi yang sama dan serupa.
Perasaan ingin selalu menang dan tidak mau mengalah itulah yang disebut sebagai ego. Laki-laki memiliki ego kelelakian, perempuan memiliki ego keperempuanan. Ketika ego selalu diperturutkan, yang muncul adalah sebuah sikap menilai diri sendiri dengan tinggi, serta menghendaki pihak lain mengalah atau merendah. Suami menghendaki isteri selalu mengalah untuk dirinya, dan isteri menghendaki suami selalu mengalah untuk dirinya. Keduanya tidak berusaha untuk menundukkan ego demi kebaikan dan kebahagiaan bersama.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata “ego” memiliki makna aku atau diri pribadi. Juga memiliki makna rasa sadar akan diri sendiri, serta konsepsi individu tentang dirinya sendiri. Maka orang disebut egois manakala ia selalu mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egoisme dalam pengertian psikologi adalah tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain.
Menundukkan ego adalah salah satu bab paling rumit dalam masa penyesuaian suami isteri. Seberapa lama waktu yang mereka perlukan untuk mampu menundukkan ego dalam diri masng-masing, selama itu pula mereka akan mengalami ketidaknyamanan hubungan. Tidak mau mengalah adalah contoh paling nyata dari sulitnya menundukkan ego. Merasa gengsi, merasa malu, merasa kalah dan terhina kalau sampai mengalah kepada pasangan.
Tidak mau mengalah bukan hanya terjadi pada pasangan suami isteri baru atau dalam masa-masa penyesuaian. Namun karakter dan sifat ini bisa terjadi pada pasangan yang sudah “senior” atau tua. Perhatikan saja dalam setiap perbedaan dan pertengkaran antara suami isteri. Kita sering menyaksikan pertengkaran suami isteri di depan publik. Keduanya tidak mau mengalah dan saling mengotot mempertahankan keinginan serta pendapatnya. Padahal bukan pasangan yang muda usia, bahkan sudah memiliki menantu dan cucu.
Bahkan di Dalam Pesawat Pun Bertengkar
Jika sikap tidak mau mengalah ini dipelihara dan dipertahankan, sudah pasti yang muncul adalah ketegangan hubungan secara terus menerus dalam sepanjang kehidupan mereka di rumah tangga. Walaupun sudah menjadi kakek dan nenek, tidak bosan mereka terus bertengkar dan terus menerus bertikai demi memenangkan ego masing-masing. Saya pernah menyaksikan pertengkaran suami isteri yang sangat sengit di dalam pesawat terbang. Usia mereka sudah di atas limapuluhan, namun pertengkaran tetap mereka lakukan di depan umum.
Setelah saya perhatikan isi perbincangan mereka, ternyata pertengkaran terjadi karena mereka hampir ketinggalan pesawat disebabkan boarding pass mereka “hilang” dan tidak ada yang mengaku, siapa yang membawa. Mereka saling menuduh, “Kamu yang tadi membawa boarding pass”. Di depan petugas gate mereka bertengkar hebat karena tidak bisa menunjukkan boarding pass kepada petugas. Tentu saja mereka tidak diperbolehkan untuk memasuki pesawat. Setelah dicari-cari ternyata boarding pass ada di dalam dompet sang isteri. Betapa kemarahan suami meledak tanpa kendali.
Ketika dipersilakan memasuki pesawat, mereka menjadi orang terakhir dan ditunggu-tunggu oleh penumpang lainnya, karena menyebabkan keterlambatan pemberangkatan. Saya yang sudah duduk sesuai jatah seat, melihat dengan jelas ketika mereka berdua dengan tergesa-gesa dan nafas ngos-ngosan memasuki pesawat. Sang suami, masih dengan kemarahan, bertanya kepada isterinya, “Tempat duduk kita nomer berapa?” Sang isteri bingung, tidak bisa segera menjawab.
“Lihat itu di boarding pass-nya”, nada sang suami masih terasa membentak. Wajah sang isteri masih tampak pucat, mungkin karena merasa bersalah dan juga malu dibentak-bentak suami di depan para penumpang lainnya.
“Ini tadi kan juga karena Bapak. Kalau Bapak tidak keluar dari ruang tunggu, aku kan juga tidak bingung mencari. Sudah dipanggil suruh masuk pesawat, malah Bapak belum datang. Aku kan jadi panik, sampai lupa naruh boarding pass dimana”, jawab sang isteri tidak mau kalah.
Pertengkaran mereka berlangsung cukup lama, sambil dibantu pramugari mencari seat dan menaruh barang bawaan di kabin. Ketika sifat tidak mau mengalah diperturutkan, semua pihak tidak mau dianggap bersalah. Semua menyalahkan pihak lain tanpa mencoba mengevaluasi diri sendiri. Suami cepat menyalahkan isteri, dan isteri cepat melempar kesalahan kepada suami. Seakan dirinya bersih dan bebas dari kesalahan. Padahal, dalam setiap konflik suami isteri, selalu saja anda saham dan andil dari kedua belah pihak.