Makalah Pajak Bumi Dan Bangunan

Makalah Pajak Bumi Dan Bangunan

PENDAHULUAN

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan jenis pajak objektif yang mulai berlaku sejak Januari 1986 berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Jenis pajak ini bukanlah tergolong jenis pajak baru karena pada dasarnya terdapat jenis pajak yang memiliki kesesuaian dengan PBB yang telah lama dikenal dan dikenakan jauh sebelum diundangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985.
Secara umum latar belakang sejarah ke-PBB-an terbagi menjadi tiga bagian yaitu masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan, pajak atas tanah telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu berkuasa di Nusantara dengan nama drwyahaji. Salah satu kerajaan besar di masa lalu, Mataram, dalam sejarah disebutkan telah menerapkan tanah pertanian sebagai objek pajak. Saat itu pajaknya dipungut berdasarkan luas tanah. Selain di Jawa, di kerajaan Aceh dikenal pula pungutan atas tanah ladang yang dikenal dengan istilah wase tanah disamping pungutan-pungutan lainnya.
Pada masa penjajahan, dikenal adanya jenis pajak bumi yang disebut Land Rent. Jenis pajak ini diperkenalkan oleh Sir Stanford Rafles, seorang Gubernur Jenderal Inggris di Indonesia pada tahun 1811 sampai dengan tahun 1816. Land Rent dikenakan terhadap semua jenis tanah produktif dan wajib pajaknya adalah desa (kepala desa) bukan perseorangan, karena para kepala desa dianggap sebagai penyewa yang harus membayar sewa tanah. Besarnya tarif Land Rent bervariasi antara 20% hingga 50% dari hasil produksi pertanian tergantung pada jenis produksinya. Pada masa penjajahan Belanda (1816) pemungutan Land Rent tetap dipertahankan dengan mengganti namanya menjadi Landrente dan besarnya tarif juga diubah menjadi 20% dari produksi pertanian. Selanjutnya pada masa pemerintahan Jepang di Indonesia (1942-1945), nama Land Rent atau Landrente diubah menjadi Land Tax. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, nama Land Tax atau pajak tanah disebut dengan Pajak Bumi dan pada tahun 1951 sampai dengan 1959 nama jawatan pengelola Pajak Bumi tersebut adalah Jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) yang mempunyai tugas mendaftar dan mengeluarkan surat pendaftaran sementara bagi tanah-tanah milik yang terdaftar. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 11 Prp Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi, terhadap tanah yang tunduk kepada hukum adat dipungut pajak yang dikenal sebagai Iuran Pembangunan Daerah (Ipeda). Selain Ipeda, pada masa itu dipungut pula 6 (enam) pajak kekayaan dan pungutan lain atas tanah dan bangunan yang menimbulkan tumpan tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya dan menyebabkan adanya beban pajak berganda bagi masyarakat. Dengan adanya reformasi perpajakan pertama yang dimulai pada tahun 1983, antara lain dengan penyederhanaan jumlah dan jenis pajak atas tanah dan bangunan melalui pengundangan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985, maka 7 (tujuh) jenis pajak kebendaan dan kekayaan atas tanah dan bangunan disederhanakan mejadi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).










PEMBAHASAN

A.    Pengertian
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

B.     Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Sebagaimana tercantum dalam UU PBB yang menjadi obyek pajak bumi dan bangunan adalah bumi dan bangunan (pasal 2). Bumi adalah permukaan bumi yang ada dibawahnya (pasal 1 ayat 1), meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Sedangkan, bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah atau perairan (pasal 1 ayat 2). Contoh dari bangunan adalah rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas lain yang memberi manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dan lain-lain.
Objek pajak yang dikecualikan dan tidak dikenakan PBB menurut pasal 3 UU PBB adalah sebagai berikut:
a)      Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, seperti mesjid, gereja, rumah sakit pemerintah, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain,
b)      Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
c)      Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
d)     Digunakan oleh perwakilan diplomatik berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
e)      Digunakan oleh badan dan perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak terhutang. Dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1.
letak;
2.
peruntukan;
3.
pemanfaatan;
4.
kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
1.
bahan yang digunakan;
2.
rekayasa;
3.
letak;
4.
kondisi lingkungan dan lain-lain.

C.    Subyek  Pajak Bumi dan Bangunan
Pada dasarnya yang menjadi subyek pajak yang sekaligus dikenakan kewajiban membayar pajak adalah orang atau badan yang mempunyai hak atau memperoleh manfaat dari obyek pajak (pasal 4 ayat 1). Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata:
·         mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau;
·         memperoleh manfaat atas bumi, dan atau;
·         memiliki bangunan, dan atau;
·         menguasai bangunan, dan atau;
·         memperoleh manfaat atas bangunan.
Sedangkan wajib pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban untuk membayar pajak.
Jika dari suatu obyek pajak baik berupa tanah atau bangunan, belum diketahui dengan pasti siapa yang harus membayar pajaknya, umpama karena yang mempunyai hak atau pemiliknya tidak diketahui tetapi ada orang lain yang memperoleh manfaat dari obyek itu. Maka direktur jenderal pajak oleh undang-undang diberi  wewenang untuk menunjuk dan menetapkan subyak pajak, seperti dimaksudkan dalam (pasal 4 ayat 1) UU PBB sebagai wajib pajak. Namun apabila subyak pajak yang oleh direktur pajak ditetapkan sebagai wajib pajak, dan ia merasa bahwa hal ini tidak tepat, dapat mengajukan keberatan dengan memberi keterangan secara tertulis, bahwa ia bukan wajib pajak dari obyek yang bersangkutan, maka ia akan membatalkan penetapan orang itu sebagai wajib pajak dalam jangka waktu satu bulan, terhitung sejak diterimanya surat keterangan yang dimaksudkan (pasal 4 ayat 5). Tetapi apabila keterangan tersebut tidak disetujui oleh direktur jenderal pajak maka ia akan mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya (pasal 4 ayat 6). Apabila direktur jenderal pajak, dalam jangka waktu satu bulan tidak memberi keputusan maka surat keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui (pasal 4 ayat 7).

D. Cara Mendaftarkan Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Orang atau Badan yang menjadi Subjek PBB harus mendaftarkan Objek Pajaknya ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) yang wilayah kerjanya meliputi letak objek tersebut, dengan menggunakan formulir Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang tersedia gratis di KPP Pratama, KP PBB, KP2KP atau KP4 setempat. Pendaftaran objek PBB juga melampirkan bukti pendukung, seperti:
  1. sket/denah objek pajak
  2. foto copy KTP dan NPWP
  3. foto copy sertifikat tanah
  4. foto copy akte jual beli
  5. bukti pendukung lainnya.

D.    Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan perwilayah berdasarkan keputusan Menteri Keuangan dengan mendengar pertimbangan gubernur serta memperhatikan:
a)      Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar;
b)      Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
c)      Nilai perolehan baru;
d)     Penentuan Nilai Jual Objek Pajak pengganti.

E. Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas bumi dan atau bangunan yang tidak kena pajak. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah Kabupaten/Kota setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- dengan ketentuan sebagai berikut:
1)      Setiap Wajib Pajak memperoleh pengurangan NJOPTKP sebanyak satu kali dalam satu Tahun Pajak.
2)      Apabila Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, maka yang mendapatkan pengurangan NJOPTKP hanya satu Objek Pajak yang nilainya terbesar dan tidak bisa digabungkan dengan Objek Pajak lainnya.

F. Tarif dan Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
Tarif pajak yang berlaku pada pajak bumi dan bangunan adalah tarif sebanding yaitu dengan prosentase tertentu, sehingga besar kecilnya pajak terutang akan tergantung dengan besar kecilnya obyek pajak. Pada pasal 5 UU PBB dijelaskan tarif pajak bumi dan bangunan adalah 0,5 % (lima per sepuluh persen).
Pada pasal 19 UU PBB ditentukan bahwa menteri keuangan dapat memberikan pajak yang terutang:
a.       Karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
b.      Dalam hal obyek pajak terkena bencana alam atau sebab yang lainnya.
Maksud dari kondisi tertentu obyek pajak yang ada hubungannya dengan subyek pajak dan sebab-sebab tertentu lainnya yaitu berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, bangunan yang ditempati sendiri (yang tidak mengeluarkan hasil) yang dimiliki oleh golongan wajib pajak. Adapun yang dimaksud dengan bencana alam antara lain: gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan yang dimaksud dengan sebab lain yang luar biasa adalah seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit tanaman, hama tanaman dan lain-lain.
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP),
Sedangkan untuk menghitung NJKP dihitung berdasarkan prosentase dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Sedangkan untuk menghitung NJOP adalah NJOP Bumi ditambah dengan NJOP Bangunan dikurangi dengan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP).
Prosentase untuk menghitung NJKP berdasarkan PP No. 25 Tahun 2002, adalah sebagai berikut :
  1. Objek Pajak Perkebunan adalah 40%
  2. Objek Pajak Kehutanan adalah 40%
  3. Objek Pajak Pertambangan adalah 40%
  4. Objek pajak lainnya (perdesaan dan perkotaan) :
Ø  apabila Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-nya Rp. 1.000.000.000,00 ke atas adalah 40%
Ø  apabila Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)-nya kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 adalah 20%
Sedangkan untuk NJOPTKP berdasarkan Surat Edaran No. 43/PJ.6/2003 memutuskan bahwa NJOPTKP untuk setiap daerah berbeda.

G. Tempat Pembayaran PBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk. Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saat ini dapat dilakukan melalui :
  1. Bank atau Kantor Pos dan Giro Tempat pembayaran yang tercantum dalam SPPT
  2. Petugas Pemungut PBB Kelurahan/Desa yang ditunjuk resmi
  3. Fasilitas elektronik yang disediakan oleh Bank, seperti : Mesin ATM, SMS Banking, Phone Banking, Internet Banking
Resi atau struk ATM, Print out internet banking ataupun bukti pembayaran (melalui teller) diperlakukan sebagai pengganti Surat Tanda Terima Setoran (STTS). Apabila tanda terima pembayaran tersebut rusak atau hilang, Wajib Pajak dapat meminta surat keterangan lunas ke KPPBB/KPP Pratama.


Previous
Next Post »