MAKALAH UPAH DALAM MENGAJARKAN AGAMA

UPAH DALAM MENGAJARKAN AGAMA
       I.            PENDAHULUAN
Rizki yang kita cari selama ini bukanlah di tangan kita. Ia mutlak milik Allah dan ada di tangan-Nya. Akan memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki dan menahannya dari siapa yang Dia kehendaki sesuai dengan hikmah yang ada pada-Nya. Kalaulah demikian halnya maka seorang Muslim yang baik tidak akan mengandalkan usahanya sendiri, tetapi ia selalu memohon kemudahan dari Allah untuk menjemput rizki yang telah Dia takdirkan.
Berkaitan dengan rizki yang didapatkan dari hasil mengajarkan agama atau kitabullah, banyak hadits-hadits yang menerangkan tentang hukumnya. Dan beberapa hadits mengatakan bahwa hukum menerima upah dari mengajarkan Al-Quran itu haram atau tidak diperbolehkan. Tetapi Jumhur Ulama membolehkannya (halal). Untuk lebih jelasnya lagi, dalam makalah ini kami akan memaparkan hal-hal yang berkaitan dengan upah dalam mengajarkan Agama.

    II.            RUMUSAN MASALAH

A.    Bagaimana Pengupahan dalam Islam?
B.     Bagaimana Upah dalam Mengajarkan Agama?

 III.            PEMBAHASAN
A.    Pengupahan dalam Islam
عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِى حَدِ يثِ اْلهِجْرَةِ قَا لَتْ : وَاسْتَأْجَرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَاَلِهِ وَسَلَّمَ وَاَبُوْبَكْرٍ رَجُلًا مِنْ بَنِى الدَّ يِلِ ، هَا دِيَا خِرِيَتَا وَالْخِرِيَتُ الْمَاهِرُ بِالْهِدَايَةِ وَهُوَ عَلَى دِيْنِ كَفَارِ قرَيْشٍ ، وَأَمِنَاهُ ، فَدَفَعَا اِلَيْهِ رَا حَلَتَيْهِمَا، وَوَعَدَاهٌ غَارَثُوْرٍ بَعْدَ ثَلَاثِ لَيَالٍ ، فَأَ تَاهُمَا بِرَاحَلَتَيْهِماَ صَيِحَةَ لَيَالٍ ثَلَاثٍ ، فَارْتَحَلَا . رواه
 أحمد والبخارى
Dari ‘Aisyah r.a, dalam hadits al-hijroti, ia berkata: Nabi saw. dan abu bakar r.a. mengupah seorang lelaki dari Bani ad Dail untuk menjadi penunjuk jalan. Dia seorang yang terampil dan masih menganut agama kafir Quraisy. Beliau memberikan jaminan keselamatan baginya. Beliau menyerahkan beberapa ekor unta, dan berjanji akan bertemu kembali di gua Tsur setelah tiga malam. Pada malam ketiga di datang kembali membawa kendaraannya, dan beliau berangkat”.(H.R. Ahmad dan Al-Bukhary; Al-Muntaqa II: 383)
Kataاسْتَأْجَرَ dalam hadits di atas berarti “mengupah” atau “memberi upah”. Sebagaimana dalam ilmu Fiqh, upah juga disebut Ijarah yang artinya suatu transaksi yang lazim dilakukan dalam mengambil manfaat dengan harga tertentu dan dalam waktu tertentu.[1]
            Para Ulama berpendapat bahwa kita boleh mempergunakan tenaga seseorang buruh yang tidak beragama Islam, jika ada keperluan, walaupun ada buruh yang beragama Islam. Namun dilarang menerima upah dari orang musyrik, karena merendahkan martabat orang Islam.[2]

وَعَنْ اَنَسٍ اَنَّ النّبِيَّ ص.م احْتَجَمَ ، حَجَمَهُ اَبُوْ طَيبَةَ وَاَعْطَاهُ صَاعَيْنِ مِنْ طَعَامٍ وَكَلّمَ مَوَلِيَهُ فَخَفّفُوْا عَنْهُ ( متفق عليه )
 “Dan dari Anas, sesungguhnya Nabi saw. Pernah berbekam, yaitu dibekam olh abu thaibah, sedag abu thaibah diberinya upah dua upah sha’ makanan dan iapun menyuruh kepada para mawalinya ( untuk memberinya keringanan), maka merekapun memberinya keringanan ( HR AhmadBukhari dan Muslim )
Oleh sebagian Ulama ahli hadits, hadits dalam hal ini di jadikan alasan haramnya pekerjaan sebagai tukang bekam. Karena hakikat larangan itu menunjukan pada haram, dan jelek (sebagaimana tersebut dalam hadits nabi) itu adalah haram. Ini di perkuat dengan sabda Nabi sendiri yang mengatakan “haram”, seperti tersebut dalam hadits Abu Hurairah. Tetapi jumhur bependapat halal. Alasan mereka ialah hadits Annas dan Ibnu Abas. Adapun larangan yang tersebut dalam beberapa hadits itu di artikan sbagai makruh tanzih, sebab pekerjaan sebagai tukang bekam itu adalah pekerjaan yang redah, sedang Allah senang kepada hal-hal yang mulia. Bekam adalah termasuk salah satu yang juga diperlukan oleh orang Islam, maka seorang muslim berkewajiban memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang Islam lainnya dikala membutuhkannya. Alasan halalnya bekam ini di perkuat oleh perkenan Rasullullah Saw. Ketika dimintai izin untuk (memakan) upah bekam itu, lalu beliau mengizinkannya.[3]
Perkataan “seandainya yang demikian itu haram”, itu dalam riwayat Bukhori berbunyi:
لَوْ عَلِمَ كَرَاهَتَهُ لَمْ يُعْطِهِ
“seandainya Nabi saw. mengetahui akan dibencinya pekerjaan bekam itu, niscaya Beliau tidak akan memberinya”.
Maksudnya: makruh tahrim.
Di lain riwayat Bukhori yang lain dikatakan:
لَوْ كَانَ حَرَامًا لَمْ يُعْطِهِ
“seandainya bekam itu haram, niscaya nabi saw. tidak akan memberinya”.
Ini jelas sekali menunjukan bahwa pekerjaan itu jaiz (halal).
Dikatakan dalam Al-Ikhtiyarat: kalau ada seorang yang sangat memerlukan pekerjaan ini, dan tidak ada lagi pekerjaan selain itu, kecuali kalau diminta-minta kepada manusia, maka pekerjaan sebagai tukang bekam itu justru lebih baik daripada minta-minta. Begitulah sebagaimana dikatatan oleh sebagian Ulama salaf: “bahwa pekerjaan yang rendah itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain”.[4]

B.     Upah dalam Mengajarkan Agama
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ  ( رواه البخاري)

“dan dari Ibnu Abbas: sesungguhnya ada sekelompok sahabat nabi saw. yang berjalan-jalan melalui sebuah bani ma’  yang dikalangan mereka itu ada seorang yang disengat (kala jengking), lalu salah seorang dari bani ma’ itu menghadap (kepada para sahabat) untuk menanyakan : apakah di kalanganmu ada orang yang bisa menjampi, sebab dalam bani ma’ ada seorang yang disengat? Lalu salah seorang diantara sahabat itu pergi dan membacakan surat Al-fatikhah sebanyak-banyaknya. Kemudian dia datang kepada rekan-rekannya itu dengan membawa seekor kambing, namun mereka menolaknya dan berkata: apakah engkau mengambil upah atas kitabullah? Begitulah, hingga mereka tiba di madinah lalu bertanya kepada Rasulullah: ya Rasulallah! Bolehkah aku mengambil upah atas kitabullah? Maka jawab Rasulullah: “upah yang paling berhak kamu ambil ialah kitabullah” (HR. Imam Bukhori).
Kata أَجْرًا dalam hadits di atas berarti “upah”. Dimana pada lafadz sebelumnya, yaitu إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ  yang berarti “sesungguhnya pekerjaan yang paling berhak kamu ambil darinya”, maka dapat diartikan bahwa mengambil upah dalam mengajarkan Agama (kitabullah) adalah dibolehkan.
Ibnu taimiyah berkata dalam Al-Ikhtiyarat: upah karena semata-mata membaca Al-Quran itu tidak dibicarakan oleh seorang pun dari kalangan para Imam, tetapi yang mereka perselisihkan ialah tentang upah mengajarkan. Sedang bolehnya mengambil upah menjampi itu tidak ada lagi persoalan.
Perkataan “jampi” yaitu meniup dengan sedikit meludahi. Menurut Ibn Abi Jamrah, bahwa yang demikian itu dilakukan sesudah dibacakannya al-Quran itu untuk mendapatkan barokah terhadap luka yang dimaksud dengan mengalirnya ludah pada luka tersebut.[5]
Karena mengajarkan itu bertujuan untuk menjaga, melestarikan, maupun mengajarkan ayat-ayat Al-Quran, maka hal tersebut  dibolehkan. Sebagaimana dalam hadits Nabi yang mengatakan bahwa “sesungguhnya perumpamaan orang yang menguasai Al-Quran, seperti unta yang terikat. Apabila ia sangat berhati-hati, maka ia akan tetpa bertahan, dan apabila ia membiarkannya, maka ia akan lepas”.[6]
Para Jumhur Ulama yang membolehkan menerima upah dari mengajar Al-Quran, mengatakan bahwasannya hadits Ubay Ibn Ka’ab dan hadits Ubadah yang melarang Utsman Ibn abil ‘Ats, menerima upah dari pekerjaannya sebagai Muazzin, adalah dua peristiwa yang memiliki ciri tersendiri. Mungkin Nabi mengetahui bahwa mereka mengajar Al-Qur’an dengan penuh keikhlasan dengan niat karena Allah, karenanya Nabi tidak menyukai orang menerima upah. Namun mereka yang mengajarkan Al-Quran dengan niat kepada Allah, bersedia menerima pemberian tanpa memintanya atau tidak menunjukkan keinginan yang sangat untuk menerima upah, tentulah tidak diharamkan. Hadits Imran Ibn Husain hanyalah menerangkan, bahwa kita tidak boleh meminta-minta kesana-kemari untuk mendapatkan upah dari membaca Al-Quran. Dan hal ini berlainan dengan menerima upah dari mengajar Al-Quran sebagaimana dimaksudkan oleh hadits Abdurrahman Ibn Syibl, yang menjadikan mengajarkan Al-Quran sebagai profesi (mata pencaharian tetap). Menerima upah dari murid-muridnya yang diberikan dengan senang hati, tidaklah diharamkan.[7]
Dan sebagian yang lain yang membolehkannya menganggap perbuatan mengajar Al-Quran sama dengan perbuatan-perbuatan lainnya. Di samping itu, mereka juga mengemukakan alasan dengan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kharijah bin As- Shamir r.a.[8]
Sedangkan mereka yang menyediakan jasa fisik sebagai buruh berhak menerima upah bila sudah menyelesaikan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Penyerahan upah dilakukan sesudah terjadi akad antara si buruh dan si pemberi pekerjaan. Demikianlah pendapat Abu Hanifah. Menurut As-syafi’i dan ashhabnya, upah diberikan pada saat terjadinya akad. Seluruh ulama sepakat, bahwa seseorang yang tidak memiliki keahlian dibidang pengobatan, harus bertanggung jawab penuh terhadap pasiennya.[9]
Disebutkan, bahwasannya kedekatan kepada Allah yang tidak dibolehkan meminta imbalan adalah yang ringan dan tidak melibatkan orang lain seperti, sholat dan puasa. Oleh karena itu tidak diperkenankan seorang ayah menyewa anaknya untuk menjalankan tugas-tugasnya, karena tugas-tugas tersebut menjadi tanggung jawabnya. Demikian juga seorang istri, tidak diperkenankan menuntut gaji atas tugas dan kewajibannya seperti,memasak makanan untuk keluarganya.[10]
 IV.            ANALISIS
Berdasarkan hadits dan Jumhur Ulama banyak yang berpendapat bahwa memberi upah maupun menerimanya adalah dibolehkan (halal). Pemberian upah biasanya diberikan setelah pekerjaannya selesai, serta sudah ada kesepakatan sebelumnya. Kalaupun belum ada kesepakatan sebelumnya, maka hendaknya upah diberikan berdasarkan kelaziman (sesuai dengan pekerjannya). Sedangkan dalam permasalah upah dari hasil bekam beberapa hadits yang secara tekstual mengatakan “dilarang”, dengan alasan karena pekerjaan itu merupakan pejerjaan yang rendah. Tetpai Jumhur Ulama membolehkannya, karena Nabi sendiri pun pernah melakukan bekam dan memberi upah kepada si tukang bekam. Dan juga dengan alasan, karena pekerjaan mejadi tukang bekam itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain.
Berkaitan dengan menerima upah dari hasil mengajarkan Agama, Jumhur Ulama mengatakan diperbolehkan. Dengan landasan jangan dijadikan sebagai profesi utama. Dengan kata lain seseorang yang mengajarkan Agama tidak boleh terlalu berharap mendapat penghidupan dari pengajaran Agamanya. Alangkah bagusnya dalam mengajarkan Agama (Al-Quran) diniatkan semata-mata untuk mencari ridho Allah, mempelajari, dan mengajarkan Al-Quran kepada mereka yang belum mengetahuinya. Adapun setelah ia mengajarkan kemudian diberi upah sebagai imbalan jasa, maka bolehlah ia menerimanya.

    V.            KESIMPULAN
Para ulama’ berpendapat bahwa kita boleh mempergunakan tenaga seseorang buruh yang tidak beragama Islam, jika ada keperluan, walaupun ada buruh yang beragama Islam. Namun dilarang menerima upah dari orang musyrik, karena merendahkan martabat orang Islam.
Mereka yang mengajarkan Al-Quran dengan niat kepada Allah, bersedia menerima pemberian tanpa memintanya atau tidak menunjukkan keinginan yang sangat untuk menerima upah, tentulah tidak diharamkan. Hadits Imran Ibn Husain hanyalah menerangkan, bahwa kita tidak boleh meminta-minta kesana-kemari untuk mendapatkan upah dari membaca Al-Quran. Dan hal ini berlainan dengan menerima upah dari mengajar Al-Quran sebagaimana dimaksudkan oleh hadits Abdurrahman Ibn Syibl, yang menjadikan mengajarkan Al-Quran sebagai profesi (mata pencaharian tetap). Menerima upah dari murid-muridnya yang diberikan dengan senang hati, tidaklah diharamkan

 VI.            PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami buat, sebagai manusia biasa kita menyadari dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Untuk itu kritik  dan saran yang konstruktif sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aaamiin.


Previous
Next Post »