BAB PERTAMA
(1)
PENGARUH LAUT
DAN IKLIM
1. Pengaruh Laut
Laut dan
daratan adalah fluida yang berbeda dalam hal kapasitas menyimpan panas.
Peningkatan suhu air (lautan) berlangsung lebih lambat, tetapi air dapat
menyimpan panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Hal ini terjadi karena
air mempunyai panas spesifik yang tinggi. Panas spesifik adalah jumlah energi
yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu 1 gram air sebesar 1˚C. Angin yang
berhembus melewati bentangan permukaan air dapat menghambat peningkatan atau
penurunan suhu udara secara drastis pada wilayah daratan disekitarnya. Oleh sebab
itu, iklim di wilayah kepulauan atau dekat pantai akan lebih sejuk untuk daerah
tropis dan lebih hangat. Lebih lanjut perbedaan menyimpan dan melepaskan panas
tersebut akan berpengaruh terhadap sirkulasi angin dunia yang akhirnya akan
mempengaruhi sirkulasi laut.
Dalam beberapa literatur, definisi dasar dari arus laut adalah gerakan massa air laut
dari satu tempat ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun
secara horizontal (gerakan ke samping). Gerakan massa air laut
tersebut juga digerakan oleh pengaruh angin. Angin bergerak dari tekanan udara
yang tinggi ke tekanan udara yang lebih rendah. Jadi bisa didefinisikan bahwa
arus laut dipengaruhi oleh angin yang bergerak dari tekanan udara yang tinggi
ke tekanan udara yang lebih rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pergerakan arus laut adalah angin, salinitas, suhu, gravitasi bumi, gerak
rotasi bumi, konfigurasi benua, dan topografi dasar laut.
Laut sejak dulu
berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air laut. Sirkulasi laut adalah pergerakan
massa air di laut. Sirkulasi laut di permukaan dibangkitkan oleh stres angin
yang bekerja di permukaan laut dan disebut sebagai sirkulasi laut yang
dibangkitkan oleh angin (wind driven ocean circulation). Selain itu, ada
juga sirkulasi yang bukan dibangkitkan oleh angin yang disebut sebagai
sirkulasi termohalin (thermohaline circulation) dan sirkulasi akibat
pasang surut laut. Sirkulasi termohalin dibangkitkan oleh adanya perbedaan
densitas air laut. Istilah termohalin sendiri berasal dari dua kata yaitu
thermo yang berarti temperatur dan haline yang berarti salinitas. Penamaan ini
diberikan karena densitas air laut sangat dipengaruhi oleh temperatur dan
salinitas. Sementara itu, sirkulasi laut akibat pasang surut laut disebabkan
oleh adanya perbedaan distribusi tinggi muka laut akibat adanya interaksi bumi,
bulan dan matahari.
Sirkulasi di permukaan membawa massa
air laut yang hangat dari daerah tropis menuju ke daerah kutub. Di sepanjang
perjalanannya, energi panas yang dibawa oleh massa air yang hangat tersebut
akan dilepaskan ke atmosfer. Di daerah kutub, air menjadi lebih dingin pada
saat musim dingin sehingga terjadi proses sinking (turunnnya
massa air dengan densitas yang lebih besar ke kedalaman). Hal ini terjadi di
Samudera Atlantik Utara dan sepanjang Antartika. Air laut dari kedalaman secara
perlahan-lahan akan kembali ke dekat permukaan dan dibawa kembali ke daerah
tropis, sehingga terbentuklah sebuah siklus pergerakan massa air yang disebut
Sabuk Sirkulasi Laut Global (Global Conveyor Belt). Semakin efisien
siklus yang terjadi, maka akan semakin banyak pula energi panas yang ditransfer
dan iklim di bumi akan semakin hangat.
Menurut penelitian yang dilakukan di
University of Bern dengan menggunakan model iklim dengan perata-rataan ke arah
zonal (zonally averaged climate model),perubahan iklim yang
terjadi saat ini akibat adanya efek gas rumah kaca bisa merubah dan bahkan
mematikan sabuk sirkluasi laut global (Stocker and Schmittner, 1997).
2. Pengaruh Iklim
Secara langsung
maupun tidak langsung, angin dan awan di permukaan bumi terkait dengan
matahari. Panas dari matahari memproduksi perbedaan temperatur, yang
mengarahkan pada perbedaan temperatur. Dan angin selalu bergerak dari tekanan
tinggi ke rendah.
Laut menjadi
tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global menggerakkan energi
yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global, dari angin
sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan kecerlangan
matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan iklim. Meskipun
masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan karena peningkatan
kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa
matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan iklim.
Cuaca dan iklim
merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda pengertian khususnya
terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang dinyatakan
dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin, kelembaban
dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama kurun waktu
yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Sementara iklim
didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara lain
suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun waktu
yang panjang (Gibbs,1987).
Trewartha and Horn (1995)
mengatakan bahwa iklim merupakan suatu konsep yang abstrak, dimana iklim
merupakan komposit dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer
di dalam suatu kawasan tertentu dalam jangka waktu yang panjang. Iklim bukan
hanya sekedar cuaca rata-rata, karena tidak ada konsep iklim yang cukup memadai
tanpa ada apresiasi atas perubahan cuaca harian dan perubahan cuaca musiman
serta suksesi episode cuaca yang ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang
bersifat selalu berubah, meski dalam studi tentang iklim penekanan diberikan pada
nilai rata-rata, namun penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang
ekstrim juga mempunyai arti penting. Indonesia mempunyai karakteristik
khusus, baik dilihat dari posisi, maupun keberadaanya, sehingga mempunyai
karakteristik iklim yang spesifik.
BAB KEDUA
(2)
PEMANASAN
GLOBAL
(GLOBAL
WARMING)
Udara di
sekeliling kita semakin panas, bukankah hal itu sudah biasa terjadi
di daerah tropis? Mengapa orang sedunia heboh? Pemanasan
global adalah kejadian terperangkapnya radiasi gelombang
panjang matahari (infra merah atau gelombang panas) yang dipancarkan oleh bumi,
sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan akibatnya suhu di atmosfer bumi
memanas.
Sebagian
radiasi gelombang pendek yang dipancarkan oleh bumi diserap oleh gas-gas
tertentu di dalam atmosfer yang disebut Gas Rumah Kaca
(GRK), selanjutnya GRK meradiasikan kembali panas tersebut ke bumi.
Mekanisme ini disebut Efek Rumah Kaca (ERK)di atmosfer juga akan
memaksa iklim untuk melalui ambang batas toleransinya, sehingga apabila hal ini
terjadi iklim akan berubah secara drastis dan akan mengubah sistem-sistem
dinamika alam yang sudah ada. Kontributor terbesar pemanasan global saat
ini adalah sebagai berikut :
1. Sumber Gas Rumah Kaca
a.
Uap Air, adalah gas rumah kaca yang timbul
secara alami dan bertanggungjawab terhadap sebagian besar dari efek rumah kaca.
Konsentrasi uap air berfluktuasi secara regional, dan aktifitas manusia tidak
secara langsung mempengaruhi konsentrasi uap air kecuali pada skala lokal.
Dalam model iklim, meningkatnya temperatur atmosfer yang disebabkan efek rumah
kaca akibat gas-gas antropogenik akan menyebabkan meningkatnya kandungan uap
air ditroposfer, dengan kelembapan relatif yang agak konstan. Meningkatnya
konsentrasi uap air mengakibatkan meningkatnya ERK; yang mengakibatkan
meningkatnya temperatur; dan kembali semakin meningkatkan jumlah uap air di
atmosfer. Keadaan ini terus berkelanjutan sampai mencapai titik ekuilibrium
(kesetimbangan). Oleh karena itu, uap air berperan sebagai umpan balik positif
terhadap aksi yang dilakukan manusia yang melepaskan GRK seperti CO2. Perubahan dalam jumlah uap air di udara juga berakibat
secara tidak langsung melalui terbentuknya awan.
b.
CO2 (Karbon
dioksida), Karbon dioksida adalah gas terbanyak kedua. Ia
timbul dari berbagai proses alami seperti: letusan gunung berapi, hasil
pernafasan hewan dan manusia (yang menghirup oksigen dan menghembuskan karbon
dioksida) dan pembakaran material organik seperti tumbuhan. Manusia telah meningkatkan jumlah
karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer ketika mereka membakar bahan bakar
fosil, limbah padat, dan kayu untuk menggerakkan kendaraan dan menghasilkan
listrik. Pada saat yang sama, jumlah pepohonan yang mampu menyerap karbon
dioksida semakin berkurang akibat perambahan hutan untuk diambil kayunya maupun
untuk perluasan lahan pertanian. Karbon dioksida dapat berkurang karena
terserap oleh lautan dan diserap tanaman untuk digunakan dalam proses
fotosintesis. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi karbon
dioksida di atmosfer, aktifitas manusia yang melepaskan karbon dioksida ke
udara jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya.
c.
CH4 (Metan), Metana yang merupakan komponen utama gas alam juga termasuk GRK. Ia
merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak
bila dibandingkan karbondioksida. Metana dilepaskan ke atmosfir selama produksi
dan transportasi batu bara, gas alam dan minyak bumi. Metana juga
dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill),
bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk
samping dari pencernaan.
d.
N2O (Nitrous
Oksida), Nitrogen oksida adalah gas insulator panas
yang sangat kuat. Ia dihasilkan terutama dari pembakaran bahan bakar fosil dan
oleh lahan pertanian. Nitrogen oksida dapat menangkap panas 300 kali lebih
besar dari karbondioksida, HFCs (Hydrofluorocarbons), PFCs (Perfluorocarbons)
dan SF6 (Sulphur hexafluoride). GRK lainnya dihasilkan dari berbagai proses
manufaktur. Campuran berflourinasi dihasilkan dari peleburan aluminium. HFCs (Hydrofluorocarbons)
terbentuk selama manufaktur berbagai produk, termasuk busa untuk insulasi,
perabotan (furniture), dan tempat duduk di kendaraan. Lemari pendingin
dibeberapa negara berkembang masih menggunakan PFCs (Perfluorocarbons)
sebagai media pendingin yang selain mampu menahan panas atmosfer juga
mengurangi lapisan ozon (lapisan yang melindungi Bumi dari radiasi
ultraviolet). Para ilmuwan telah lama mengkhawatirkan tentang gas-gas yang
dihasilkan dari proses manufaktur akan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.
Bagaimana gas rumah kaca berperan dalam efek rumah kaca
dan merubah iklim bumi? Mekanismenya kurang lebih dapat dijelaskan sebagai
berikut: "atmosfer," adalah lapisan dari berbagai macam gas yang
menyelimuti bumi, dan merupakan mesin dari sistem iklim secara fisik. Ketika
pancaran/radiasi dari matahari yang berupa sinar tampak atau gelombang pendek
memasuki atmosfer, beberapa bagian dari sinar tersebut direfleksikan atau
dipantulkan kembali oleh awan-awan dan debu-debu yang terdapat di angkasa,
sebagian lainnya diteruskan ke arah permukaan daratan. Dari radiasi yang
langsung menuju ke permukaan daratan sebagian diserap oleh bumi, tetapi bagian
lainnya “dipantulkan” kembali ke angkasa oleh es, salju, air, dan
permukaan-permukaan reflektif bumi lainnya. Proses pancaran sinar matahari dari
angkasa menembus atmosfer sampai menuju permukaan bumi hingga dapat kita
rasakan suhu bumi menjadi hangat disebut efek rumah kaca (ERK). Tanpa ada ERK
di sistem iklim bumi, maka bumi menjadi tidak layak dihuni karena suhu bumi
terlalu rendah (minus).
Dari penjelasan di atas dapat kita mengerti bagaimana
mekanisme terjadinya ERK di bumi. Lalu bagaimana keterkaitan antara ERK,
pemanasan global dan perubahan iklim? Secara sederhana dijelaskan sebagai
berikut sinar matahari yang tidak terserap permukaan bumi akan dipantulkan
kembali dari permukaan bumi ke angkasa. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
sinar tampak adalah gelombang pendek, setelah dipantulkan kembali berubah
menjadi gelombang panjang yang berupa energi panas (sinar inframerah), yang
kita rasakan. Namun sebagian dari energi panas tersebut tidak dapat menembus
kembali atau lolos keluar ke angkasa, karena lapisan gas-gas atmosfer sudah
terganggu komposisinya (komposisinya berlebihan). Akibatnya energi panas yang
seharusnya lepas keangkasa (stratosfer) menjadi terpancar kembali ke
permukaan bumi (troposfer) atau adanya energi panas tambahan kembali
lagi ke bumi dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga lebih dari dari
kondisi normal, inilah ERK berlebihan karena komposisi lapisan GRK di atmosfer
terganggu, akibatnya memicu naiknya suhu rata-rata dipermukaan bumi maka
terjadilah pemanasan global. Karena suhu adalah salah satu parameter dari iklim
dengan begitu berpengaruh pada iklim bumi, terjadilah perubahan iklim secara global.
Meskipun
pemanasan global hanya merupakan satu bagian dalam fenomena perubahan iklim,
namun pemanasan global menjadi hal yang penting untuk dikaji. Hal tersebut
karena perubahan temperatur akan memberikan dampak yang signifikan terhadap
aktivitas manusia. Perubahan temperatur bumi dapat mengubah kondisi lingkungan
yang pada tahap selanjutkan akan berdampak pada tempat dimana kita dapat hidup,
apa tumbuhan yang kita makan dapat tumbuh, bagaimana dan dimana kita dapat
menanam bahan makanan, dan organisme apa yang dapat mengancam. Ini artinya
bahwa pemanasan global akan mengancam kehidupan manusia secara menyeluruh.
Namun beberapa
penelitian beberapa tahun terakhir mulai meragukan kestabilan sirkulasi
termohalin dalam menahan laju pemanasan global dalam jangka panjang. Dengan
suhu bumi yang semakin meningkat, GRK yang terus meningkat dan es yang terus
mencair, dapat menyebabkan kadar garam air laut berkurang yang pada gilirannya
mengakibatkan titik bekunya meningkat. Pada musim dingin permukaan air di Kutub
Utara akan membeku dan menghambat proses pertukaran panas sehingga dapat
mengakibatkan perubahan sirkulasi air laut yang pada gilirannya mengakibatkan
terjadinya perubahan iklim.
2. Gejala Pemanasan Global
Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan
hilangnya ciri dari sebuah daratan. Entah itu naiknya permukaan laut,
penggurunan, angin musim yang deras, gletser meleleh atau pengasaman laut,
perubahan iklim dengan cepat akan mengubah daratan planet kita.
Tanda-tanda
pemanasan global mungkin sudah terlihat di permukaan bumi. Bukan hanya di
Indonesia, sejumlah hutan di negara-negara lain juga ikut terbakar ludes. Dalam
beberapa dekade ini, kebakaran hutan meluluhlantakan lebih banyak area dalam
tempo yang lebih lama juga. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajalela ini
dengan temperatur yang kian panas dan salju yang meleleh lebih cepat. Musim
semi datang lebih awal sehingga salju meleleh lebih awal juga. Area hutan lebih
kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar. Situs purbakala cepat
rusak akibat alam yang tak bersahabat, sejumlah kuil, situs bersejarah, candi
dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. Banjir,
suhu yang ekstrim dan pasang laut menyebabkan itu semua.
Tahun 2010, cuaca ekstrim melanda Eropa dan Australia. Warga bumi
mengalami perubahan cuaca yang tidak biasa. Setelah Asia dilanda hujan terus
menerus, sejumlah negara Eropa kini mengalami musim dingin ekstrim. Badai salju terus turun, dan suhu udara turun drastis. Badan Prakiraan Cuaca Inggris menilai cuaca
dingin ini adalah yang terparah pemanasan global. Dengan iklim yang
hangat membuat udara lebih lembab, yang dapat memicu badai salju yang lebih
parah.
Pada tahun yang sama, peristiwa menarik terjadi di Australia. Tak begitu jauh dari
garis katulistiwa, sebagian wilayah di timur Australia mengalami cuaca dingin,
bahkan sampai bersalju. Bagi kalangan publik dan pengamat setempat,
perubahan cuaca ini terbilang tak biasa. Sejumlah wilayah di Australia, seperti
di New South Wales dan Victoria, umumnya menikmati musim panas di akhir tahun dengan suhu sekitar
30 derajat celsius. Namun saat itu, suhu bisa mencapai hampir nol derajat celcius, dengan
hujan salju setebal 10 hingga 30 sentimeter. Menurut ahli cuaca di badan prakiraan cuaca
Australia, cuaca yang tidak
biasa ini terjadi akibat udara
bertekanan rendah di laut Selatan, yaitu dari perairan Antartika di Kutub Selatan. Ini
menyebabkan cuaca dingin ekstrim yang sedang melanda Eropa terbawa hingga ke
Australia.
Bagaimana nasib Indonesia jika
terjadi perubahan iklim? Indonesia akan kehilangan lahan pesisir dan produksi
pangan yang terdapat di daerah dekat pantai terganggu. Hal ini akan
terjadi jika pemanasan global berkelanjutan, sehingga menimbulkan permukaan air
laut naik.
Di Indonesia sendiri, tanda-tanda
perubahan iklim akibat pemanasan global telah lama terlihat. Misalnya, sudah
beberapa kali ini kita mengalami musim kemarau yang panjang. Tahun 1982-1983,
1987 dan 1991, kemarau panjang menyebabkan kebakaran hutan yang luas. Hampir
3,6 juta hektar hutan habis di Kalimatan Timur akibat kebakaran tahun 1983.
Musim kemarau tahun 1991 juga menyebabkan 40.000 hektar sawah dipusokan dan
produksi gabah nasional menurun drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127
juta ton pada tahun 1990. Akibatnya, pemerintah Indonesia yang sudah
mencapai swasembada beras sejak 1984, terpaksa mengimpor beras dari India,
Thailand dan Korea Selatan seharga Rp 200 miliar.
Tahun 2009,
Lebih kurang 1.600 hektare sawah di kawasan Pantai Utara (Pantura) Kabupaten
Subang, Jawa Barat (Jabar) dilanda kekeringan, dan 11.380 hektare sawah lainnya
terancam kekeringan menyusul musim kemarau panjang yang melanda daerah itu.
Kondisi ini diperparah minimnya pasokan air ke ribuan hektare area pertanian
warga.
Kemarau panjang
yang mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar diakibatkan oleh
fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik sampai
31°C sehingga membawa kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi menyatakan
bahwa siklus kejadian El Nino berlangsung antara 7 sampai 10
tahun. Jika kita berasumsi bahwa kemarau pada 1982-83 adalah akibat El
Nino, maka seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-90.
Namun kita mengalami kemarau panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian.
Setelah itu, kemarau panjang kembali terjadi pada 1991, atau empat tahun
setelah kemarau 1987.
Selain itu,
pada akhir 2004, terjadi gempa bumi dahsyat
di Samudra Hindia, lepas pantai barat Aceh. Gempa yang berkekuatan 9,3
menurut skala Richter merupakan gempa bumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir
ini sehingga mengakibatkan tsunami setinggi 9 meter. Lalu tahun
2011, hujan deras mengguyur berbagai daerah di Indonesia lebih deras
dari tahun-tahun yang lalu. Bahkan di beberapa daerah
seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan wilayah Indonesia lainnya
mengalami musim hujan bersifat di atas normal. Berdasarkan pemantauan Badan
Meteorologi dan Geofisika, diketahui bahwa musim hujan 2011 sebesar 37,3 persen
daerah mengalami curah hujan di atas normal.
Curah hujan
yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El Nino yaitu La
Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan samudera Pasifik
yang membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia bagian selatan,
termasuk Indonesia. La Nina yang terjadi menyebabkan curah
hujan tinggi disertai angin topan. Apakah kemarau panjang dan curah hujan di
atas normal yang makin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau
merupakan akibat pemanasan global? Hal ini memang belum dapat dipastikan.
Namun, jika pemanasan global benar-benar terjadi, maka yang akan kita alami
adalah kemarau panjang dan curah hujan di atas normal
dalam skala yang lebih besar dan lebih luas sehingga
dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar.
Tanda-tanda
perubahan iklim juga terlihat pada kondisi beberapa pulau di Kalimantan Timur,
khususnya di pulau Tarakan. Udara yang semakin panas serta sulitnya
mendapatkan air bersih dirasakan oleh seluruh penduduk Tarakan yang mayoritas
bermukim di kawasan pesisir. Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung di Tarakan
sudah melebihi dari 30 persen yang diprogramkan pemerintah kota. Namun hal
tersebut baru sebatas luas kawasannya, bukan pada keberadaan hutannya. Kawasan
hutan pantai juga sudah mulai hilang perlahan dan digantikan sebagai lahan
aktifitas manusia sehingga ikut menyebabkan perubahan iklim. Berdasarkan hasil
penelitian organisasi Tim Peduli Lingkungan Tarakan, pada tahun 2000-2005 lalu,
tercatat 100 hektare hutan mangrove terdegradasi dan yang tersisa saat ini
hanya 670 hektare dari sebelumnya seluas 1.250 hektare hutan mangrove. Selain
itu, abrasi di bibir pantai kota Tarakan juga sudah terlihat dalam beberapa
tahun belakangan ini. Berdasarkan pantauan Tim Peduli Lingkungan sejak 2007
lalu, abrasi tiap tahun mencapai antara 3 hingga 5 meter, salah satunya di
Pantai Amal baru, kelurahan Pantai Amal. Dari data yang ada, dapat digambarkan
bahwa kondisi hutan mangrove di pesisir pantai kota Tarakan sedang mengalami
tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga menyebabkan hilangnya
hutan mangrove dalam jumlah besar. Hal ini tentu dapat menimbulkan kerugian
jika tidak diatasi secepatnya. Mengingat hutan mangrove merupakan pelindung
pantai dari terjadinya abrasi, selain itu sumber ekonomi bagi masyarakat
sekitar karena merupakan tempat perkembangbiakan ikan dan udang serta biota
laut lainnya. Hutan mangrove mengandung zat hara yang dibutuhkan mahluk hidup
serta merupakan tempat berlindung dan asuhan fauna. Banyak bencana dan kerugian
yang terjadi akibat rusak/hilangnya hutan mangrove, seperti abrasi pantai,
intrusi air laut, banjir, hancurnya pemukiman penduduk diterpa badai laut,
hilangnya sumber perikanan alami, dan hilangnya kemampuan dalam meredam emisi
gas rumah kaca.