BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sejalan dengan rencana pergantian
kurikulum 2013, istilah pendekatan ilmiah atau scientific aproach pada pelaksanaan pembelajaran menjadi bahan
pembahasan yang menarik perhatian para pendidik akhir-akhir ini. Yang menjadi
latar belakang pentingnya materi ini karena produk pendidikan dasar dan
menengah belum menghasilkan lulusan yang mampu berpikir kritis setara dengan
kemampuan anak-anak bangsa lain.
Disadari bahwa guru-guru perlu
memperkuat kemampuannya dalam memfasilitasi siswa agar terlatih berpikir logis,
sistematis, dan ilmiah. Tantangan ini memerlukan peningkatan keterampilan guru
melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah. Skenario untuk
memacu keterampilan guru menerapkan strategi ini di Indonesia telah melalui
sejarah yang panjang, namun hingga saat ini harapan baik ini belum terwujudkan
juga. Balitbang Depdiknas sejak tahun 1979 telah merintis pengembangan program
prestisius ini dalam Proyek Supervisi dan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) di Cianjur,
Jawa Barat. Hasil-hasil proyek ini kemudian direplikasi di sejumlah daerah dan
dikembangkan melalui penataran guru ke seluruh Indonesia. Upaya yang dimulai
pada tingkat sekolah dasar ini kemudian mendorong penerapan pendekatan belajar
aktif di tingkat sekolah menengah. Hasil-hasil upaya ini secara bertahap
kemudian diintegrasikan ke dalam Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum
Berbasis Kompetensi tahun 2004, yang dilanjutkan dengan Standar Isi yang lebih
dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006.
Dalam perancangan kurikulum baru,
Kemendikbud masih menggunakan latar belakang pemikiran yang menyatakan bahwa
secara faktual guru-guru belum melaksanakan cara belajar siswa aktif. Kondisi
ideal yang diharapkan masih lebih sering menjadi slogan dari pada fakta dalam kelas. Produktivitas pembelalaran
untuk menghasilkan siswa yang terampil berpikir pada level tinggi dalam kondisi
madek alias kolep. Deskripsi ini merujuk pada hasil tes anak bangsa kita yang dikompetisikan pada tingkat
internasional dinyatakan tidak berkembang sejak tujuh tahun lalu. Memang, ini
kondisi yang sangat memprihatinkan.
Ketika kita membicarakan tentang
pendidikan, kita merasa bahwa kita sedang membicarakan permasalahan yang
kompleks dan sangat luas. Mulai dari masalah peserta didik, pendidik/guru,
manajemen pendidikan, kurikulum, fasilitas, proses belajar mengajar, dan lain
sebagainya. Salah satu masalah yang banyak dihadapi dalam dunia pendidikan kita
adalah lemahnya kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah.
Dalam proses pembelajaran di dalam kelas hanya diarahkan kepada kemampuan anak
untuk menghafal informasi; otak anak dipaksa untuk mengingat dan menimbun
berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu
untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya banyak peserta
didik yang ketika lulus dari sekolah, mereka pintar secara teoritis, akan
tetapi mereka miskin aplikasi.
Dalam Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (UU Sisdiknas, 2003).
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan
scientific?
2. Apa
sajakah kriteria pendekatan scientific
(pendekatan ilmiah)?
3. Apa
sajakah langkah-langkah dalam pembelajaran scientific?
C.
TUJUAN
DAN MANFAAT
1. Tujuan
Tujuan utama pembuatan makalah ini untuk
memenuhi nilai mata kuliah Strategi Pembelajaran TIK. Selanjutnya untuk
memaparkan tentang Pendekatan Scientific serta menjelaskan langkah-langkah
proses pembelajaran Pendekatan Scientific.
2. Manfaat
Adapun manfaat dari penulisan makalah
ini adalah penulis dan pembaca lebih memahami mengenai arti Pendekatan
Scientific dalam proses pembelajaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
PENDEKATAN SCIENTIFIC
Pendekatan adalah konsep dasar yang
mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari pemikiran tentang bagaimana
metode pembelajaran diterapkan berdasarkan teori tertentu. Oleh karena itu
banyak pandangan yang menyatakan bahwa pendekatan sama artinya dengan metode.
Pendekatan ilmiah berarti konsep dasar yang menginspirasi atau melatarbelakangi perumusan metode
mengajar dengan menerapkan karakteristik yang ilmiah. Pendekatan pembelajaran
ilmiah (scientific teaching)
merupakan bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam
kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah.
Pengertian penerapan pendekatan ilmiah
dalam pembelajaran tidak hanya fokus pada bagaimana mengembangkan kompetensi
siswa dalam melakukan observasi atau eksperimen, namun bagaimana mengembangkan pengetahuan
dan keterampilan berpikir sehingga dapat mendukung aktivitas kreatif dalam
berinovasi atau berkarya.
Menurut
majalah Forum Kebijakan Ilmiah yang terbit di Amerika pada tahun 2004
sebagaimana dikutip Wikipedia menyatakan
bahwa pembelajaran ilmiah mencakup strategi pembelajaran siswa aktif
yang mengintegrasikan siswa dalam proses berpikir dan penggunaan metode yang
teruji secara ilmiah sehingga dapat membedakan kemampuan siswa yang bervariasi.
Penerapan metode ilmiah membantu guru mengindentifikasi perbedaan kemampuan siswa. Pada
penerbitan berikutnya pada tahun 2007
dinyatakan bahwa penerapan pendekatan saintifik dalam pembelajaran harus
memenuhi tiga prinsip utama, yaitu:
1. Belajar
siswa aktif, dalam hal ini termasuk
inquiry-based learning atau belajar berbasis penelitian, cooperative learning
atau belajar berkelompok, dan belajar berpusat pada siswa.
2. Assessment
berarti pengukuran kemajuan belajar
siswa yang dibandingkan dengan targepencapaian tujuan belajar.
3. Keberagaman
mengandung makna bahwa dalam pendekatan ilmiah mengembangkan pendekatan
keragaman. Pendekatan ini membawa konsekuensi siswa unik, kelompok siswa unik,
termasuk keunikan dari kompetensi, materi, instruktur, pendekatan dan metode
mengajar, serta konteks.
Metode Ilmiah merupakan teknik
merumuskan pertanyaan dan menjawabnya melalui kegiatan observasi dan
melaksanakan percobaan. Dalam penerapan metode ilmiah terdapat aktivitas yang
dapat diobservasi seperti mengamati, menanya, mengolah, menalar, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta. Pelaksanaan metode ilmiah tersusun dalam tujuh
langkah berikut:
1. Merumuskan
pertanyaan.
2. Merumuskan
latar belakang penelitian.
3. Merumuskan
hipotesis.
4. Menguji
hipotesis melalui percobaan.
5. Menganalisis
hasil penelitian dan merumuskan kesimpulan.
6. Jika
hipotesis terbukti benar maka dapat dilanjutkan dengan laporan.
7. Jika
Hipotesis terbukti tidak benar atau benar sebagian maka lakukan pengujian kembali.
Penerapan metode ilmiah merupakan proses
berpikir logis berdasarkan fakta dan teori. Pertanyaan muncul dari pengetahuan
yang telah dikuasai. Karena itu kemampuan bertanya merupakan kemampuan dasar
dalam mengembangkan berpikir ilmiah. Informasi baru digali untuk menjawab
pertanyaan.Oleh karena itu, penguasaan teori dalam sebagai dasar untuk
menerapkan metode ilmiah. Dengan menguasi teori maka siswa dapat
menyederhanakan penjelasan tentang suatu gejala, memprediksi, memandu perumusan
kerangka pemikiran untuk memahami masalah. Bersamaan dengan itu, teori
menyediakan konsep yang relevan sehingga teori menjadi dasar dan mengarahkan
perumusan pertanyaan penelitian.
B.
KRITERIA
PENDEKATAN SCIENTIFIC (PENDEKATAN ILMIAH)
Berikut ini tujuh (7) kriteria sebuah
pendekatan pembelajaran dapat dikatakan sebagai pembelajaran scientific, yaitu:
1. Materi
pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat dijelaskan dengan
logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan, legenda,
atau dongeng semata.
2. Penjelasan
guru, respon siswa, dan interaksi edukatif guru-siswa terbebas dari prasangka
yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong
dan menginspirasi siswa berpikir secara kritis, analistis, dan tepat dalam
mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan materi
pembelajaran.
4. Mendorong
dan menginspirasi siswa mampu berpikir hipotetik dalam melihat perbedaan,
kesamaan, dan tautan satu sama lain dari materi pembelajaran.
5. Mendorong
dan menginspirasi siswa mampu memahami, menerapkan, dan mengembangkan pola
berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6. Berbasis
pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan
pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya.
Proses pembelajaran yang
mengimplementasikan pendekatan scientific akan menyentuh tiga ranah, yaitu:
sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotor). Dengan proses pembelajaran
yang demikian maka diharapkan hasil belajar melahirkan peserta didik yang
produktif, kreatif, inovatif, dan afektif melalui penguatan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi. Perhatikan diagram berikut.
Hasil belajar melahirkan
peserta didik yang produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif
melalui penguatan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang terintegrasi.
Adapun penjelasan dari diagram
pendekatan pembelajaran scientific (pendekatan ilmiah) dengan menyentuh ketiga ranah
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Ranah
sikap menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu
mengapa”.
2. Ranah
keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu bagaimana”.
3. Ranah
pengetahuan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik “tahu apa.”
Hasil akhirnya adalah peningkatan dan
keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan
dan pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang
meliputi aspek kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kurikulum 2013
menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan
pendekatan ilmiah.Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran
sebagaimana dimaksud meliputi mengamati,
menanya, menalar, mencoba, membentuk jejaring untuk semua mata pelajaran.
C.
LANGKAH-LANGKAH
PEMBELAJARAN SCIENTIFIK
Pembelajaran saintifik terdiri atas lima
langkah, yaitu Observing (mengamati),
Questioning (menanya), Associating (menalar), Experimenting (mencoba), Networking (membentuk Jejaring/
mengkomunikasikan), seperti tampak pada gambar berikut :
1.
MENGAMATI
Mengamati mengutamakan kebermaknaan proses
pembelajaran (meaningfull learning).
Mengamati memiliki keunggulan tertentu,
seperti menyajikan media obyek secara nyata, peserta didik senang dan
tertantang, dan mudah pelaksanaannya. Tentu saja kegiatan mengamati dalam
rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan waktu persiapan yang lama dan
matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika tidak terkendali akan
mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Mengamati sangat bermanfaat bagi
pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik. Sehingga proses pembelajaran memiliki
kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode observasi peserta didik menemukan fakta
bahwa ada hubungan antara obyek yang dianalisis dengan materi pembelajaran yang
digunakan oleh guru.
Kegiatan mengamati dalam pembelajaran
dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti berikut ini.
·
Menentukan objek apa yang akan
diobservasi
·
Membuat pedoman observasi sesuai dengan
lingkup objek yang akan diobservasi
·
Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
·
Menentukan di mana tempat objek yang
akan diobservasi
·
Menentukan secara jelas bagaimana
observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
·
Menentukan cara dan melakukan pencatatan
atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera, tape recorder,
video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan observasi dalam proses pembelajaran meniscayakan
keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru harus
memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
·
Observasi biasa (common observation). Pada observasi biasa untuk kepentingan
pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang sepenuhnya melakukan
observasi (complete observer). Di
sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau
situasi yang diamati.
·
Observasi terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, pada
observasi terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik sama sekali
tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati. Mereka
juga tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi
terkendali pelaku atau objek yang
diamati ditempatkan pada ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada
pembelajaran dengan observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau
eksperimen atas diri pelaku atau objek
yang diobservasi.
·
Observasi partisipatif (participant observation). Pada observasi
partisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan pelaku atau
objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim dilakukan
dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam ini
mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau objek
yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan
pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat
subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat,
termasuk melibatkan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama proses pembelajaran, peserta
didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan diri. Kedua cara
pelibatan dimaksud yaitu observasi
berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti dijelaskan berikut ini.
·
Observasi berstruktur. Pada observasi berstruktur dalam rangka
proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin
diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di
bawah bimbingan guru.
·
Observasi tidak berstruktur. Pada
observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak
ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh
peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau
mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang
diobservasi.
Praktik observasi dalam pembelajaran
hanya akan efektif jika peserta didik dan guru melengkapi diri dengan dengan
alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti: (1) tape recorder, untuk
merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek atau kegiatan secara
visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek atau secara
audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara lebih luas, alat atau instrumen
yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat berupa daftar cek (checklist),
skala rentang (rating scale), catatan anekdotal (anecdotal record), catatan
berkala, dan alat mekanikal (mechanical device). Daftar cek dapat berupa suatu
daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek, atau faktor- faktor yang akan
diobservasi. Skala rentang , berupa alat untuk mencatat gejala atau fenomena
menurut tingkatannya. Catatan anekdotal berupa catatan yang dibuat oleh peserta
didik dan guru mengenai kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh
subjek atau objek yang diobservasi. Alat
mekanikal berupa alat mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam
peristiwa-peristiwa tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang
diobservasi.
Prinsip-rinsip yang harus diperhatikan
oleh guru dan peserta didik selama observasi pembelajaran disajikan berikut
ini.
·
Cermat, objektif, dan jujur serta
terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
·
Banyak atau sedikit serta homogenitas
atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi. Makin banyak
dan hiterogen subjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin sulit
kegiatan obervasi itu dilakukan. Sebelum
observasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan
menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
·
Guru dan peserta didik perlu memahami
apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas
perolehan observasi.
2.
MENANYA
Guru yang efektif mampu menginspirasi
peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap, keterampilan,
dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing
atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab
pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk
menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang
menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk memperoleh tanggapan
verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”,
melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan
tanggapan verbal.
Fungsi Bertanya: (1)Membangkitkan rasa
ingin tahu, minat, dan perhatian peserta
didik tentang suatu tema atau topik pembelajaran; (2) Mendorong dan
menginspirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan
dari dan untuk dirinya sendiri; (3) Mendiagnosis kesulitan belajar peserta
didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya; (4)
Menstrukturkan tugas-tugas dan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
menunjukkan sikap, keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran
yang diberikan; (5) Membangkitkan keterampilan peserta didik dalam berbicara,
mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban secara logis, sistematis, dan
menggunakan bahasa yang baik dan benar; (6) Mendorong partisipasipeserta didik
dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik
simpulan; (7) Membangun sikap keterbukaan untuk saling memberi dan
menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta mengembangkan
toleransi sosial dalam hidup berkelompok; (8) Membiasakan peserta didik
berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba
muncul; dan (9) Melatih kesantunan dalam berbicara dan membangkitkan kemampuan
berempati satu sama lain.
Kriteria Pertanyaan yang Baik: (1)
Singkat dan jelas; (2) Menginspirasi jawaban; (3) Memiliki fokus; (4) Bersifat
probing atau divergen; (5) Bersifat validatif atau penguatan; (6) Memberi
kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang; (7) Merangsang peningkatan
tuntutan kemampuan kognitif; (8) Merangsang proses interaksi.
3.
MENALAR
Istilah “menalar” dalam kerangka proses
pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk
menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik
tekannya tentu dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif
daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan sistematis atas
fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh simpulan berupa
pengetahuan.
Penalaran dimaksud merupakan penalaran
ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat. Istilah
menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan
dari reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena
itu, istilah aktivitas menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013
dengan pendekatan ilmiah banyak merujuk pada teori belajar asosiasi atau
pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada
kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk
kemudian memasukannya menjadi penggalan memori.
Selama mentransfer peristiwa-peristiwa
khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses
pembelajaran akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung
antara pendidik dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui
stimulus dan respons (S-R). Teori ini
dikembangan kerdasarkan hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal
dengan teori asosiasi. Jadi, prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh
Thorndike adalah asosiasi, yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon
(S-R). Menurut Thorndike, proses pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar
peserta didik terjadi secara perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara
tiba-tiba. Thorndike mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
·
Hukum efek (The Law of Effect), di mana intensitas hubungan antara stimulus (S)
dan respon (R) selama proses pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi
dari hubungan yang terjadi. Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa
menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya,
jika akibat hubungan S-R dirasa tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik
akan melemah. Menurut Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan)
jauh lebih besar dalam memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek
punishment (akibat yang tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini
bermakna bahwa reward akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi
punishment belum tentu akan mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
·
Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini terdiri dari duajenis,
yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh Thorndike. Karena dia menyadari
bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau membentuk perilaku. Pertama, Law
of Use yaitu hubungan antara S-R akan semakin kuat jika sering digunakan atau
berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin
melemah jika tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike,
perilaku dapat dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement). Memang,
latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah individu
menyadari konsekuensi perilakunya.
·
Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut Thorndike, pada prinsipnya apakah
sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak menyenangkan untuk dipelajari
tergantung pada kesiapan belajar individunya. Dalam proses pembelajaran, hal
ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan siap dan belajar dilakukan, maka
mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika pesert didik dalam keadaan tidak siap
dan belajar terpaksa dilakukan, maka mereka akan merasa tidak puas bahkan
mengalami frustrasi.
Prinsip-prinsip dasar dari Thorndike
kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau
pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman operan adalah bentuk pembelajaran
dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam
probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin efektif jika
peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin tinggi pula
kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R.
4.
MENCOBA
Untuk memperoleh hasil belajar yang
nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA,
misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses
untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan
metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba
dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu sikap,
keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk ini
adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut
tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang
tersedia dan harus disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan
hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5)
mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik
simpulan atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan
hasil percobaan.
Agar pelaksanaan percobaan dapat
berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya merumuskan tujuan eksperimen yanga
akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama murid mempersiapkan perlengkapan yang
dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan tempat dan waktu (4) Guru menyediakan
kertas kerja untuk pengarahan kegiatan murid (5) Guru membicarakan masalah
yanga akan yang akan dijadikan eksperimen (6) Membagi kertas kerja kepada murid
(7) Murid melaksanakan eksperimen dengan bimbingan guru, dan (8) Guru
mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya, bila dianggap perlu
didiskusikan secara klasikal.
5.
JEJARING
Jejaring Pembelajaran disebut juga Pembelajaran Kolaboratif. Apa yang dimaksud dengan pembelajaran
kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat personal, lebih
dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas sekolah. Kolaborasi
esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup manusia yang menempatkan
dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang dirancang secara baik
dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam rangka mencapai tujuan
bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan
guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar, sebaliknya,
peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika
pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi,
maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik terutama jika mereka
berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru. Dalam situasi
kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati,
dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini
akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi aneka
perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Ada empat sifat kelas atau pembelajaran
kolaboratif. Dua sifat berkenaan dengan
perubahan hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan
pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat
menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
·
Guru dan peserta didik saling berbagi
informasi. Dengan pembelajaran kolaboratif,
peserta didik memiliki ruang gerak untuk menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman
personal, bahasa komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan
teori, serta menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di
sini, peran guru lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang
memberi instruksi dan mengawasi secara rijid.
·
Berbagi tugas dan kewenangan. Pada
pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi tugas dan kewenangan dengan
peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu. Cara ini memungkinan peserta
didik menimba pengalaman mereka sendiri,
berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong
tumbuhnya ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta
memupuk dan menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
·
Guru sebagai mediator. Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif,
guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu
menghubungkan informasi baru dengan
pengalaman yang ada serta membantu peserta didik jika mereka mengalami kebutuan
dan bersedia menunjukkan cara bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk
belajar.
·
Kelompok peserta didik yang heterogen.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didk yang tumbuh dan berkembang
sangat penting untuk memperkaya pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta
mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan
cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta didik.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Proses pembelajaran
pada Kurikulum
2013 untuk semua jenjang dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan
saintifik. Proses pembelajaran harus menyentuh tiga ranah, yaitu
sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Dalam proses pembelajaran berbasis
pendekatan ilmiah, ranah sikap menggamit transformasi substansi atau materi
ajar agar peserta didik tahu tentang ‘mengapa’.
Ranah
keterampilan menggamit transformasi substansi atau materi ajar agar
peserta didik tahu tentang ‘bagaimana’. Ranah pengetahuan menggamit
transformasi substansi atau materi ajar agar peserta didik tahu tentang ‘apa’. Hasil
akhirnya adalah peningkatan dan keseimbangan antara kemampuan untuk menjadi
manusia yang baik (soft skills) dan manusia yang memiliki kecakapan dan
pengetahuan untuk hidup secara layak (hard skills) dari peserta didik yang
meliputi aspek kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan.
Kurikulum 2013
menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu menggunakan
pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (saintifik aproach) dalam
pembelajaran semua mata pelajaran meliputi menggali informasi melaui
pengamatan, bertanya, percobaan, kemudian mengolah data atau informasi,
menyajikan data atau informasi, dilanjutkan dengan menganalisis, menalar,
kemudian menyimpulkan, dan mencipta. Untuk mata pelajaran, materi, atau situasi
tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan
secara prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran
harus tetap menerapkan nilai-nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari
nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah.
B.
SARAN
Dalam pembuatan makalah
ini mungkin masih terdapat beberapa kesalahan baik dari isi dan cara penulisan.
Untuk itu kami sebagai penulis mohon maaf apabila pembaca merasa kurang puas
dengan hasil yang kami sajikan, dan kritik beserta saran juga kami harapkan
agar dapat menambah wawasan untuk memperbaiki penulisan
makalah kami.