MAKALAH TENTANG ZAKAT PROFESI YANG ADA DI INDONESIA


Zakat profesi sebenarnya merupakan istilah baru dalam dunia fiqih, zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi bila telah mencapai nishob. Adapun yang dimaksud dengan profesi dalam hal ini terbagi menjadi dua macam yaitu:
1.      Profesi yang penghasilnya diperoleh dengan cara usaha sendiri seperti dokter, pengacara, kontraktor, arsitek, penjahit dan lain sebagainya.
2.      Profesi yang penghasilannya diperoleh dengan cara bekerja pada orang lain sehingga ia memperoleh gaji/imbalan, seperti pegawai negeri, karyawan BUMN/BUMS, dan lain sebagai.
Menurut kaidah pencetus zakat profesi, bahwa orang yang menerima gaji atau yang lainnya dikenakan zakat sebesar 2,5% tanpa menunggu haul. Dalam hal ini, jelas tergambar bahwa zakat profesi diambil sebesar 2,5% dari gaji pokok/penghasilan yang didapatkan. Zakat profesi ini juga lahir dengan didasari bahwa apabila profesi petani dan pedagang saja harus dikenai wajib zakat, maka penghasilan dokter, kontraktor, pengacara atau lain sebagainya yang notabene memperoleh penghasilan lebih besar dari petani dan pedagang seharusnya juga wajib membayar zakat.
Adapun orang orang yang mensyariatkan zakat profesi memiliki alasan sebagai berikut: Berbeda dengan sumber pendapatan dari pertanian, peternakan dan perdagangan, sumber pendapatan dari profesi tidak banyak dikenal di masa generasi terdahulu. Oleh karena itu pembahasan mengenai tipe zakat profesi tidak dapat dijumpai dengan tingkat kedetilan yang setara dengan tipe zakat yang lain. Namun bukan berarti pendapatan dari hasil profesi terbebas dari zakat, karena zakat secara hakikatnya adalah pungutan terhadap kekayaan golongan yang memiliki kelebihan harta untuk diberikan kepada golongan yang membutuhkan.
Referensi dari Al Qur'an mengenai hal ini dapat ditemui pada surat Al Baqarah ayat 267: 
"Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Zakat profesi juga dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta). Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.
Dalam muktamar zakat yang diadakan pada tahun 1948 M di Kuwait, masalah zakat profesi ini telah terbahas. Dari hasil muktamar tersebut disimpulkan bahwa zakat gaji dan profesi termasuk harta yang sangat potensial bagi kekuatan manusia untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti gaji pekerja dan pegawai, dokter, arsitek dan lain sebagainya. Profesi jenis ini menurut mayoritas anggota muktamar tidak ada zakatnya ketika menerima gaji. Dengan digabungkan dengan harta lain yang ia miliki sehingga mencapai nishob dan haul, maka wajib dikeluarkan zakat untuk semuanya.
Adapun gaji yang diterima ditenga-tengah haul (setelah nishob) maka zakatnya dikeluarkan setelah akhir haul sekalipun belum sempurna setahun penuh. Sedangkan gaji yeng diterima sebelum nishob maka dimulai perhitungan haulnya setelah mencapai nishob lalu wajib mengeluarkan zakat setelah mencapai haul.
Hukum Zakat Profesi

Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama madzhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapai nishab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti  Yusuf Al Qaradhawi dan Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai satu tahun.
Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, Tabiin  Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama fiqh lainnya. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%, berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau  ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun.
Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan haul.  Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%. 
Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud).
Adapun dalil tentang adanya zakat profesi adalah sebagai berikut:
1.      Perintah untuk mengeluarkan infaq dari kasab yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sebagaimana  Allah berfirman  QS. Al Baqarah 267.
2.      Peringatan Allah terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman : “…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah : 34).
3.      Hadits tentang orang yang wajib dipungut zakatnya: “Rasulullah saw bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman : Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jika kamu datang kepada mereka, maka ajaklah  mereka untuk mengucapkan syahadatain. Jika mereka taat kepadamu, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menuruti perintahmu, maka samapaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan ke atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika mereka menuruti perintahmu, maka hati-hatilah kamu dari harta mereka yang berharga, dan hindarkanlah doa dari orang yang terdzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah”. (HR Bukhari)
4.      Prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang eksekutif, konsultan, dan profesional lain yang gajinya dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.
Kendati demikian, dalil yang secara jelas mengisyaratkan adanya zakat profesi secara detail belum pernah ditemui. Untuk itu, mayoritas ulama mengiyaskan zakat profesi tersebut dengan beberapa zakat yang sudah ada tuntunan syar’i. Sebagian ulama mengiyaskan zakat profesi tersebut kepada zakat pertanian. Hal ini dengan alasan bahwa para petani mengeluarkan zakat ketika mereka panen. Sehingga orang yang mempunyai profesi juga harus mengeluarkan zakatnya ketika menerima gaji.
Namun, ada beberapa alasan yang membuat qiyas terhadap zakat pertanian ini kurang tepat. Alasan tersebut adalah:
a.       Hasil pertanian baru dapat dipanen setelah 2-4 bulan, jika zakat profesi dikiyaskan dengan zakat pertanian, maka seharusnya zakat profesi juga dikeluarkan setelah 2-4 bulan, bukan dikeluarkan per bulan.
b.      Zakat pertanian adalah 1/10 hasil panen bila pengairannya tidak membutuhkan ongkos usaha untuk pengairan dan 1/20 apabila pertanian tersebut menggunakan ongkos. Jika zakat profesi dikiaskan dengan zakat pertanian semestinya prosentase zakat profesi juga demikian, bukan diambil 2,5%.
c.       Gaji profesi berwujud uang, sehingga akan lebih mendekati kebenaran apabila zakat profesi dikiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena keduanya merupakan alat jual beli barang.
Dengan alasan di atas pula maka sebagian ulama juga berpendapat bahwa zakat profesi sebaiknya dikiyaskan dengan zakat harta. Hal ini karena memang gaji yang diperoleh seseorang dalam profesinya adalah berupa uang dan saat ini uang juga dianggap sebagai harta benda pengganti emas dan perak. Maka akan lebih tepat kiranya apabila dikiyaskan dengan zakat harta. Konsekuensi dari hal tersebut adalah zakat profesi harus dikeluarkan setelah mencapai haul.
C.    Kesimpulan
1.       zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan  keumuman ayat 267 surat al Baqarah.
2.      zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima.
3.      Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg).
4.      Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr)
5.      Untuk menentukan  nishob dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas íllah, qiyas dilalah dan qiyas syabah.
6.      Qiyas íllah tidak dapat diterapkan karena íllah zakat  profesi tidak dinyatakan dengan nash.
7.      Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah.





Previous
Next Post »